Kamis, 28 Agustus 2008

Hijab (Tabir/Purdah) Isteri-Isteri Nabi SAW

Anas bin Malik ra. berkata, 'Pertama kali ayat tentang hijab diturunkan adalah ketika Rasulullah SAW menikahi Zainab binti jahsy. Pada pagi hari Rasulullah SAW menikahi Zainab beliau mengundang orang-orang lalu mereka makan dan kemudian pergi. Sekelompok orang masih tinggal bersama Nabi. Mereka tetap di sana untuk waktu yang lama. Rasulullah SAW bangkit dan aku pergi bersamanya hingga kami sampai di pintu ruangan 'Aisyah. Ketika beliau duga orang-orang itu mereka telah pergi, beliau kembali dan aku kembali bersamanya dan mereka ternyata sudah pergi. Maka beliau memasang tabir antara aku dan beliau lalu turunlah ayat tentang hijab,"Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali kamu diizinkan makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan jika kamu selesai makan keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). (QS. 33:53)Dan aku berumur 15 tahun pada waktu itu.Menurut ibnu Abbas, Ayat tentang hijab istri-istri Rasulullah SAW diturunkan ketika Umar ra. sedang makan bersama Nabi SAW. lalu tangannya menyentuh tangan salah seorang istri Nabi SAW, maka ayat tentang hijab diturunkan. Orang-orang bertanya kepada Zuhri, "Siapakah yang biasa mengunjungi para istri Nabi?" Dia menjawab, "Setiap orang yang mempunyai hubungan keturunan atau sesusuan yang menghalangi pernikahan". Ditanyakan, "Bagaimana dengan orang-orang lain?" Dia menjawab, "Mereka harus menyelubungi diri dari mereka. Mereka harus berbicara dari balik tabir. Dan tabirnya hanya selapis". Pernah juga Ummu Salamah dan Maimunah sedang bersama Nabi SAW, tiba-tiba lbnu Ummi Maktum masuk. Peristiwa itu terjadi setelah hijab diturunkan. Nabi SAW berkata kepada istri-istrinya, "Selubungilah diri kalian darinya." lstrinya bertanya, "Ya Rasulullah SAW, bukankah dia buta?" Beliau SAW menjawab, "Apakah kalian juga buta? Tidakkah kalian melihatnya?"
Posted by azharjaafar

Rabu, 20 Agustus 2008

Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabatnya

Dan orang-orang yang terdahulu; yang mula-mula dari orang-orang “Muhajirin” dan “Ansar” (berhijrah dan memberi bantuan), dan orang-orang yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah reda kepada mereka dan mereka pula reda kepada Nya, serta Dia menyediakan untuk mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar. (Surah At-Taubah, Ayat 100)

Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW
Fizikal NabiTelah dikeluarkan oleh Ya'kub bin Sufyan Al-Faswi dari Al-Hasan bin Ali ra. katanya: Pernah aku menanyai pamanku (dari sebelah ibu) Hind bin Abu Halah, dan aku tahu baginda memang sangat pandai mensifatkan perilaku Rasulullah SAW, padahal aku ingin sekali untuk disifatkan kepadaku sesuatu dari sifat beliau yang dapat aku mencontohinya, maka dia berkata: Adalah Rasulullah SAW itu seorang yang agung yang senantiasa diagungkan, wajahnya berseri-seri layak bulan di malam purnamanya, tingginya cukup tidak terialu ketara, juga tidak terlalu pendek, dadanya bidang, rambutnya selalu rapi antara lurus dan bergelombang, dan memanjang hingga ke tepi telinganya, lebat, warnanya hitam, dahinya luas, alisnya lentik halus terpisah di antara keduanya, yang bila baginda marah kelihatannya seperti bercantum, hidungnya mancung, kelihatan memancar cahaya ke atasnya, janggutnya lebat, kedua belah matanya hitam, kedua pipinya lembut dan halus, mulutnya tebal, giginya putih bersih dan jarang-jarang, di dadanya tumbuh bulu-bulu yang halus, tengkuknya memanjang, berbentuk sederhana, berbadan besar lagi tegap, rata antara perutnya dan dadanya, luas dadanya, lebar antara kedua bahunya, tulang belakangnya besar, kulitnya bersih, antara dadanya dan pusatnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang halus, pada kedua teteknya dan perutnya bersih dari bulu, sedang pada kedua lengannya dan bahunya dan di atas dadanya berbulu pula, lengannya panjang, telapak tangannya lebar, halus tulangnya, jari telapak kedua tangan dan kakinya tebal berisi daging, panjang ujung jarinya, rongga telapak kakinya tidak menyentuh tanah apabila baginda berjalan, dan telapak kakinya lembut serta licin tidak ada lipatan, tinggi seolah-olah air sedang memancar daripadanya, bila diangkat kakinya diangkatnya dengan lembut (tidak seperti jalannya orang menyombongkan diri), melangkah satu-satu dan perlahan-lahan, langkahnya panjang-panjang seperti orang yang melangkah atas jurang, bila menoleh dengan semua badannya, pandangannya sering ke bumi, kelihatan baginda lebih banyak melihat ke arah bumi daripada melihat ke atas langit, jarang baginda memerhatikan sesuatu dengan terlalu lama, selalu berjalan beriringan dengan sahabat-sahabatnya, selalu memulakan salam kepada siapa yang ditemuinya.Kebiasaan NabiKataku pula: Sifatkanlah kepadaku mengenai kebiasaannya!Jawab pamanku: Adalah Rasulullah SAW itu kelihatannya seperti orang yang selalu bersedih, senantiasa banyak berfikir, tidak pernah beristirshat panjang, tidak berbicara bila tidak ada keperluan, banyak diamnya, memulakan bicara dan menghabiskannya dengan sepenuh mulutnva, kata-katanya penuh mutiara mauti manikam, satu-satu kalimatnya, tidak berlebih-lebihan atau berkurang-kurangan, lemah lembut tidak terlalu kasar atau menghina diri, senantiasa membesarkan nikmat walaupun kecil, tidak pernah mencela nikmat apa pun atau terlalu memujinya, tiada seorang dapat meredakan marahnya, apabila sesuatu dari kebenaran dihinakan sehingga dia dapat membelanya.Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa baginda menjadi marah kerana sesuatu urusan dunia atau apa-apa yang bertalian dengannya, tetapi apabila baginda melihat kebenaran itu dihinakan, tiada seorang yang dapat melebihi marahnya, sehingga baginda dapat membela kerananya. Baginda tidak pernah marah untuk dirinya, atau membela sesuatu untuk kepentingan dirinya, bila mengisyarat diisyaratkan dengan semua telapak tangannya, dan bila baginda merasa takjub dibalikkan telapak tangannya, dan bila berbicara dikumpulkan tangannya dengan menumpukan telapak tangannya yang kanan pada ibu jari tangan kirinya, dan bila baginda marah baginda terus berpaling dari arah yang menyebabkan ia marah, dan bila baginda gembira dipejamkan matanya, kebanyakan ketawanya ialah dengan tersenyum, dan bila baginda ketawa, baginda ketawa seperti embun yang dingin.Berkata Al-Hasan lagi: Semua sifat-sifat ini aku simpan dalam diriku lama juga. Kemudian aku berbicara mengenainya kepada Al-Husain bin Ali, dan aku dapati ianya sudah terlebih dahulu menanyakan pamanku tentang apa yang aku tanyakan itu. Dan dia juga telah menanyakan ayahku (Ali bin Abu Thalib ra.) tentang cara keluar baginda dan masuk baginda, tentang cara duduknya, malah tentang segala sesuatu mengenai Rasulullah SAW itu.Rumah NabiBerkata Al-Hasan ra. lagi: Aku juga pernah menanyakan ayahku tentang masuknya Rasulullah SAW lalu dia menjawab: Masuknya ke dalam rumahnya bila sudah diizinkan khusus baginya, dan apabila baginda berada di dalam rumahnya dibagikan masanya tiga bagian. Satu bagian khusus untuk Allah ta'ala, satu bagian untuk isteri-isterinya, dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian dijadikan bagian untuk dirinya itu terpenuh dengan urusan di antaranya dengan manusia, dihabiskan waktunya itu untuk melayani semua orang yang awam maupun yang khusus, tiada seorang pun dibedakan dari yang lain.Di antara tabiatnya ketika melayani ummat, baginda selalu memberikan perhatiannya kepada orang-orang yang terutama untuk dididiknya, dilayani mereka menurut kelebihan diri masing-masing dalam agama. Ada yang keperluannya satu ada yang dua, dan ada yang lebih dari itu, maka baginda akan duduk dengan mereka dan melayani semua urusan mereka yang berkaitan dengan diri mereka sendiri dan kepentingan ummat secara umum, coba menunjuki mereka apa yang perlu dan memberitahu mereka apa yang patut dilakukan untuk kepentingan semua orang dengan mengingatkan pula: "Hendaklah siapa yang hadir menyampaikan kepada siapa yang tidak hadir. Jangan lupa menyampaikan kepadaku keperluan orang yang tidak dapat menyampaikannya sendiri, sebab sesiapa yang menyampaikan keperluan orang yang tidak dapat menyampaikan keperluannya sendiri kepada seorang penguasa, niscaya Allah SWT akan menetapkan kedua tumitnya di hari kiamat", tiada disebutkan di situ hanya hal-hal yang seumpama itu saja.Baginda tidak menerima dari bicara yang lain kecuali sesuatu untuk maslahat ummatnya. Mereka datang kepadanya sebagai orang-orang yang berziarah, namun mereka tiada meninggalkan tempat melainkan dengan berisi. Dalam riwayat lain mereka tiada berpisah melainkan sesudah mengumpul banyak faedah, dan mereka keluar dari majelisnya sebagai orang yang ahli dalam hal-ihwal agamanya.Luaran NabiBerkata Al-Hasan r.a. lagi: Kemudian saya bertanya tentang keadaannya di luar, dan apa yang dibuatnya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW ketika di luar, senantiasa mengunci lidahnya, kecuali jika memang ada kepentingan untuk ummatnya. Baginda selalu beramah-tamah kepada mereka, dan tidak kasar dalam bicaranya. Baginda senantiasa memuliakan ketua setiap suku dan kaum dan meletakkan masing-masing di tempatnya yang layak. Kadang-kadang baginda mengingatkan orang ramai, tetapi baginda senantiasa menjaga hati mereka agar tidak dinampakkan pada mereka selain mukanya yang manis dan akhlaknya yang mulia. Baginda selalu menanyakan sahabat-sahabatnya bila mereka tidak datang, dan selalu bertanyakan berita orang ramai dan apa yang ditanggunginya. Mana yang baik dipuji dan dianjurkan, dan mana yang buruk dicela dan dicegahkan.Baginda senantiasa bersikap pertengahan dalam segala perkara, tidak banyak membantah, tidak pernah lalai supaya mereka juga tidak suka lalai atau menyeleweng, semua perkaranya baik dan terjaga, tidak pernah meremehkan atau menyeleweng dari kebenaran, orang-orang yang senantiasa mendampinginya ialah orang-orang paling baik kelakuannya, yang dipandang utama di sampingnya, yang paling banyak dapat memberi nasihat, yang paling tinggi kedudukannya, yang paling bersedia untuk berkorban dan membantu dalam apa keadaan sekalipun.Majlis NabiBerkata Al-Hasan ra. lagi: Saya lalu bertanya pula tentang majelis Nabi SAW dan bagaimana caranya ? Jawabnya: Bahwa Rasulullah SAW tidak duduk dalam sesuatu majelis, atau bangun daripadanya, melainkan baginda berzikir kepada Allah SWT baginda tidak pernah memilih tempat yang tertentu, dan melarang orang meminta ditempatkan di suatu tempat yang tertentu. Apabila baginda sampai kepada sesuatu tempat, di situlah baginda duduk sehingga selesai majelis itu dan baginda menyuruh membuat seperti itu. Bila berhadapan dengan orang ramai diberikan pandangannya kepada semua orang dengan sama rata, sehingga orang-orang yang berada di majelisnya itu merasa tiada seorang pun yang diberikan penghormatan lebih darinya. Bila ada orang yang datang kepadanya kerana sesuatu keperluan, atau sesuatu masliahat, baginda terus melayaninya dengan penuh kesabaran hinggalah orang itu bangun dan kembali.Baginda tidak pemah menghampakan orang yang meminta daripadanya sesuatu keperluan, jika ada diberikan kepadanya, dan jika tidak ada dijawabnya dengan kata-kata yang tidak mengecewakan hatinya. Budipekertinya sangat baik, dan perilakunya sungguh bijak. Baginda dianggap semua orang seperti ayah, dan mereka dipandang di sisinya semuanya sama dalam hal kebenaran, tidak berat sebelah. Majelisnya semuanya ramah-tamah, segan-silu, sabar menunggu, amanah, tidak pemah terdengar suara yang tinggi, tidak dibuat padanya segala yang dilarangi, tidak disebut yang jijik dan buruk, semua orang sama kecuali dengan kelebihan taqwa, semuanya merendah diri, yang tua dihormati yang muda, dan yang muda dirahmati yang tua, yang perlu selalu diutamakan, yang asing selalu didahulukan.Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya pun lalu menanyakan tentang kelakuan Rasulullah SAW pada orang-orang yang selalu duduk-duduk bersama-sama dengannya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW selalu periang orangnya, pekertinya mudah dilayan, seialu berlemah-lembut, tidak keras atau bengis, tidak kasar atau suka berteriak-teriak, kata-katanya tidak kotor, tidak banyak bergurau atau beromong kosong segera melupakan apa yang tiada disukainya, tidak pernah mengecewakan orang yang berharap kepadanya, tidak suka menjadikan orang berputus asa. Sangat jelas dalam perilakunya tiga perkara yang berikut. Baginda tidak suka mencela orang dan memburukkannya. Baginda tidak suka mencari-cari keaiban orang dan tidak berbicara mengenai seseorang kecuali yang mendatangkan faedah dan menghasilkan pahala.Apabila baginda berbicara, semua orang yang berada dalam majelisnya memperhatikannya dengan tekun seolah-olah burung sedang tertengger di atas kepala mereka. Bila baginda berhenti berbicara, mereka baru mula berbicara, dan bila dia berbicara pula, semua mereka berdiam seribu basa. Mereka tidak pernah bertengkar di hadapannya. Baginda tertawa bila dilihatnya mereka tertawa, dan baginda merasa takjub bila mereka merasa takjub. Baginda selalu bersabar bila didatangi orang badwi yang seringkali bersifat kasar dan suka mendesak ketika meminta sesuatu daripadanya tanpa mahu mengalah atau menunggu, sehingga terkadang para sahabatnya merasa jengkel dan kurang senang, tetapi baginda tetap menyabarkan mereka dengan berkata: "Jika kamu dapati seseorang yang perlu datang, hendaklah kamu menolongnya dan jangan menghardiknya!". Baginda juga tidak mengharapkan pujian daripada siapa yang ditolongnya, dan kalau mereka mau memujinya pun, baginda tidak menggalakkan untuk berbuat begitu. Baginda tidak pernah memotong bicara sesiapa pun sehingga orang itu habis berbicara, lalu barulah baginda berbicara, atau baginda menjauh dari tempat itu.Diamnya NabiBerkata Al-Hasan r.a. lagi: Saya pun menanyakan pula tentang diamnya, bagaimana pula keadaannya? Jawabnya: Diam Rasulullah SAW bergantung kepada mempertimbangkan empat hal, yaitu: Kerana adab sopan santun, kerana berhati-hati, kerana mempertimbangkan sesuatu di antara manusia, dan kerana bertafakkur. Adapun sebab pertimbangannya ialah kerana persamaannya dalam pandangan dan pendengaran di antara manusia. Adapun tentang tafakkurnya ialah pada apa yang kekal dan yang binasa. Dan terkumpul pula dalam peribadinya sifat-sifat kesantunan dan kesabaran. Tidak ada sesuatu yang boleh menyebabkan dia menjadi marah, ataupun menjadikannya membenci. Dan terkumpul dalam peribadinya sifat berhati-hati dalam empat perkara, iaitu: Suka membuat yang baik-baik dan melaksanakannya untuk kepentingan ummat dalam hal-ehwal mereka yang berkaitan dengan dunia mahupun akhirat, agar dapat dicontohi oleh yang lain. Baginda meninggalkan yang buruk, agar dijauhi dan tidak dibuat oleh yang lain. Bersungguh-sungguh mencari jalan yang baik untuk maslahat ummatnya, dan melakukan apa yang dapat mendatangkan manfaat buat ummatnya, baik buat dunia ataupun buat akhirat.(Nukilan Thabarani - Majma'uz-Zawa'id 8:275)

Kamis, 14 Agustus 2008

Perjalanan Seorang Salik (1)

Sunday, December 09, 2007

Melbourne, Ahad Shubuh, 9 Desember 2007.

Pendar sinar mentari masih redup tertutup awan tipis. Seolah jemari surya enggan menyingkap tabir waktu di ujung fajar. Kelopak baru kehidupan mulai mekar menebar pesona di sebuah pagi di pucuk bulan Desember. Cicit burung masih terdengar satu dua di atas atap dan dahan pepohonan di sekitar masjid Westall seakan menyapa hangat kumpulan hamba yang sedang mengais ridlo-Nya. Pengajian bakda Shubuh terasa berbeda dibanding hari biasanya. Jamaah Shalat Tahajjud dan Shalat Shubuh nampak lebih semarak memakmurkan rumah Allah yang suci ini dibanding hari Ahad lainnya. Saat itu aku hitung sekitar 35 orang menghadiri kegiatan yang telah berlangsung sejak tahun 2004 ini. Alhamdulillah, gumamku. Atas pertolongan Allah pula, pengajian fajar ini terus saja berlangsung. Semoga hanya keikhlasan untuk mencari ridlo-Nya lah yang bisa mendorong kami memakmurkan perut dan jiwa masjid.
Di pagi itu, ada pemandangan lain yang menyita perhatianku. Mataku tertumbuk pada sosok kurus yang berkerudungkan sorban Arafat. Janggutnya panjang memutih dan air mukanya menampakkan kebahagiaan batin seorang Muslim. Aku taksir usianya sekitar 50 tahunan. Dia duduk bersilah di baris sebelah kiriku. Mukanya tertunduk dan nampak tekun mendengarkan uraian mengenai kematian yang diambil dari Kitab "Tanbîh al-Ghâfilîn" karya seorang ulama sufi abad ke 10 dari Samarkand, Abu Layts. Agar jamaah yang lain tahu siapa yang baru hadir dalam pertemuan itu, aku meminta Pak Ayman memperkenalkan “anggota baru” ini kepada para jama’ah. Pak Ayman memperkenalkan bahwa kawannya ini bernama Rijal, yang biasa disapa Dieke asal Bandung.
Selepas pengajian, aku mencoba mendekatinya dan bertanya tentang ihwalnya. Aku salami dia dan memperkenalkan diriku. Kemudian dia memperkenalkan dirinya dengan nama Dieke Rijal. Tapi saat itu dia sudah memiliki nama “Islamnya”, yakni Muhammad Rijali. Ada kebahagiaan ketika dia menceritakan siapa dirinya, terutama ketika dia tak henti-hentinya bersyukur atas kesembuhan yang dia peroleh. Dia bercerita tentang penyakit kanker limpa yang dideritanya selama hampir setengah tahun lamanya semenjak Januari 2007. Asal muasalnya, menurut dia, penyakitnya itu baru diketahui ketika dia melakukan olah raga sit-up. Ketika dia sedang melakukan gerakan sit-up, tiba-tiba dia merasakan kram pada perutnya yang luar biasa. Seorang kawannya, Indra, menduga bahwa hal itu terjadi karena Dieke kurang melakukan pemanasan sebelum bersit-up. Tak dinyana dan tak diduga, ketika Dieke pergi ke dokter, dokter mendiagnosa adanya kanker limpa yang berbahaya. Mendengar hal itu, Dieke hanya pasrah meski dia tak percaya dengan apa yang dia dengar itu.
Selang beberapa lama kemudian dia merasakan tubuhnya semakin lemas dan semakin kurus. Ada rasa sakit yang menusuk di dalam perutnya yang terus menerus menghujam. Dokter memutuskan agar Dieke harus menjalankan operasi penyembuhan kanker. Selama sakitnya, Dieke telah menjalani tiga kali operasi dan beberapa terapi kimia dan nuklir untuk penyembuhan kanker yang dideritanya. Ntah tak terhitung berapa banyak injeksi obat dan treatment kimiawi yang bertubi-tubi bersarang di tubuhnya ketika dia merasakan sakit yang luar biasa itu. Dalam bulan ke enam, dia merasakan bahwa badannya sudah tak kuat lagi menopang penyakit yang dideritanya. Dalam pikirannya sang malaikat maut seolah sudah teramat dekat hendak menjemput ruhnya ke alam baka. Lintas kepasrahan membawakan rasa rindu kepada tanah kelahirannya. Dia hanya berharap bahwa dia bisa menghembuskan nafas terakhirnya dan dikubur di tanah kelahirannya, Indonesia. Cinta tanah air bagi seorang perantau puluhan tahun semacam Dieke adalah bukti bahwa ikatan emosional seseorang dengan kampung halamannya adalah nyata.
Dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia meskipun dalam keadaan sakit dan harus ditopang kursi roda sekalipun. Dia sudah pasrah bahwa dalam benaknya kematian adalah yang terdekat dari segala sesuatu. Tiada jalan yang akan ditempuh dalam lorong hidup ini kecuali berakhir pada terminal hakiki, yakni maut. Dia berfikir bahwa kepulangannya ke Indonesia hanyalah untuk mengantarkan nyawa seorang pendosa. Di Jakarta dia bertemu sahabat lamanya, Bangun Sugito alias Gito Rollies, mantan penyanyi rok terkenal di Indonesia yang sudah bertobat. Gito menyarankan agar dia meminum jinten hitam dan madu. Gito bilang bahwa jinten hitam atau dalam bahasa Arabnya "khabbah sauda" adalah obat dari segala penyakit, apalagi kalau dicampur dengan madu. Dieke mengikuti saran Gito yang saat itu juga lagi menderita kanker getah bening. Mukjizat itupun terjadi. Hanya dalam waktu tiga minggu, Dieke merasa ada perobahan setelah meminum cairan khabbah sauda dan madu. Tubuhnya kembali normal dan dia bisa tegak berdiri dan berjalan. Padahal sebelumnya kaki dan tangan kanannya sempat lumpuh total. Hanya Allah saja yang tahu mengapa Dia memberikan kesembuhan atas penyakitnya itu. Dieke merasa bahwa Allah masih memberinya waktu untuk menebus semua dosa-dosanya yang terlah menggunung. Ketika dia merasa bahwa kondisi tubuhnya kian membaik, Dieke balik lagi ke Melbourne. Ketika berjumpa dengan dokter langgangannya, doktertersebut terheran-heran dengan kondisi kesehatannya yang maju pesat. Namun Dieke tak ingin bercerita tentang khabbah sauda dan madu sebagai media penyembuh penyakitnya. Dia khawatir kalau dokter di Melbourne tidak pernah akan mudah percaya terhadap terapi itu.
*****
Aku semakin ingin tahu tentang hal ikhwal dia. Di sela-sela pembicaraannya yang sarat nasihat hidup. Dia membuka kisah hidupnya yang berawal ketika dia baru berusia 21 tahun. Di saat usia belia itu, dia sudah memutuskan untuk berhijrah seorang diri ke Negeri Kanguru pada pertengahan tahun 1973. Kota yang dipilihnya adalah kota Melbourne. Dia menggunakan visa turis untuk datang ke Australia dari Jakarta. Kedatangan dia sebenarnya bukan untuk menjadi turis. Dia hanya ingin tinggal di Australia dan menikmati kebebasan sebagai anak muda yang mencari petualangan hidup dan pendefinisian jati diri. Merasa betah di Australia, Diekepun tinggal berlama-lama. Tak terasa visa turis pun habis masa berlakunya. Meskipun demikian, dia tak ingin pulang ke Indonesia, bahkan ingin menikmati status sebagai penghuni kharam. Akibatnya, selama beberapa tahun dia berkeliaran menjadi "buron" imigrasi di Melbourne. Sepandai pandai tikus bersembunyi, akhirnya bertemu gebuk dan perangkap. Pihak imigrasi Melbourne berhasil menangkapnya di awal tahun 1986. Ketika akan dideportasi, dia masih ingat kata-kata yang dia lontarkan kepada petugas imigrasi, “I will come back!”. Si petugas bilang, “Do it if you can!”.
Janji Dieke terbukti bahwa selang setahun berikutnya, dia datang lagi ke Melbourne dengan paspor baru sekaligus nama baru. Dieke pun melenggang masuk sebagai turis untuk kali kedua. Lagi-lagi dia ingin berlama-lama menikmati udara bebas di negeri kanguru tanpa peduli terhadap dokumen resmi perjalananya. Akibatnya, nasib sial terpaksa dia alami lagi untuk kali kedua sebagai konsekuensi menjadi pendatang kharam. Selang beberapa lama kemudian, Dieke pun tertangkap lagi oleh petugas imigrasi dan dideportasi ke Jakarta. Lagi-lagi Dieke berujar kepada petugas imigrasi yang sudah mengenalinya, “I will be back!!”. Si petugas dengan tak acuh menjawab, “Do it if you can!”.BERSAMBUNG...
Melbourne, 10 desember 2007

Perjalanan Seorang Salik (2)

Monday, December 10, 2007


Dieke yang berjiwa berandal, bandel dan pantang menyerah terus saja mencoba untuk kembali lagi ke tanah kebebasan, Australia. Dengan ide lamanya, dia pun tak kapok untuk membuat paspor baru dengan nama baru yang lain untuk mendapatkan visa turis. Anehnya, pada waktu itu, dia masih saja dihadiahi visa untuk datang ke Benua Kanguru ini. Pada kali ketiga ini dia juga datang sebagai turis. Untuk “menyelamatkan” nasibnya agar tidak lagi ditangkap oleh petugas imigrasi, dia menikahi seorang perempuan bule non-Muslim. Karena tidak ada pekerjaan yang dirasakan cocok dengan jiwanya, Dieke nekat bekerja menantang nyawa sebagai pengedar obat terlarang disamping pemain bas pada sebuah band “Happiness” yang dibentuknya bersama beberapa kawan sesama “druggist” lainnya. Yah, “happiness”, sebuah kata yang mewakili impian kaum “druggist” dan pemuja kebebasan di tanah rantau; kebebasan dan kebahagiaan semu yang hanya gemerlap bak embun pagi yang mudah menguap di kala mentari membiaskan hangatnya.
Untuk menjaga pasokan heroin dan obat kharam lainnya, dia terbiasa melakukan perjalanan ke berbagai kota tambang emas bagi kaum pemadat, semisal Nepal atau Bangkok. Dalam satu tahun dia terbiasa melakukan perjalanan dua atau tiga kali sesuai dengan prinsip “supply and demand” dalam dunia pasar. Selama hamper 30 tahun dia bergelut dengan dunia kelam itu. Dunia yang dipandangnya sebagai sensasi kebahagiaan. Tiada hari tanpa drug dan tiada hari tanpa jual menjual barang laknat itu. Pekerjaan kharam ini dia jalani dengan sepenuh hati dan dedikasi. Dia mengakui bahwa dia tak berfikir tentang dosa dan Tuhan. Yang ada dalam pikirannya adalah mendapatkan duit banyak dan atmosphere berfoya-foya tanpa lelah.
Dia masih ingat di tahun 1996, kali pertama dia berinisiatif membuat grup musik “Happiness”. Dia yang memiliki talenta musik merekrut beberapa kawan “seperjuangannya” untuk mengikuti lomba band di Melbourne. Kebetulan saat itu grup “happiness” menjadi juara. Kemenangan grup musiknya merupakan babak baru dalam sejarah kehidupan Dieke untuk melebarkan sayap sebagai pengedar obat terlarang sekaligus terjun lebih dalam lagi dalam lembah dosa. Bermodal kemenangan itu, ia datangi sebuah night club di pojokan kota Melbourne. Kepada si pemilik bar, dia sesumbar bahwa andaikata grup bandnya diperbolehkan manggung di dalam bar tersebut, maka dia bisa menjamin untuk menarik banyak pelanggan. Dieke yakin bahwa dia punya banyak kawan yang bisa diundang untuk sekedar “silaturahim” di dalam bar tersebut. Dia bangga memiliki pasukan jahiliyah yang siap berpesta miras dan obat terlarang. Si pemilik bar setuju dan mengizinkan grup band Happiness manggung semalam suntuk hingga jam 5 pagi. Ternyata sesumbar Dieke terbukti, pada hari pertama, jumlah pengunjung bar sekitar 30 orang, dan pada hari ketiga, dia melihat pengunjung bar lebih dari 150 orang. Sengaja dia pasang seorang perempuan seksi sebagai penjaga pintu bar. Di situlah Dieke membangun jaringan peredaran obat terlarang melalui para pelanggan bar. Tidak hanya itu, dia minta kompensasi 10% dari keuntungan bar di saat dia dan grup bandnya manggung. Hari spesial dia untuk unjuk kebolehan membetot dawai gitar basnya adalah Jum’at malam dan Sabtu malam. Itulah lapangan nafkah seorang Dieke yang mempertaruhkan nasib di negeri kebebasan. Bermodalkan surat dokter sebagai pecandu narkoba, Dieke beruntung mendapatkan santunan hidup dari pemerintah Victoria. Seingat dia, dia tak memiliki pekerjaan legal apapun selain musik, madat, madon, dan maling.
*****
Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika teringat masa jahiliyah dalam kehidupannya. “Andai saja aku mati pada saat itu ya Allah…”, katanya lirih sambil pandangannya menerawang menatap langit. Semburat penyesalan memang memancar jelas dari sinar wajahnya. Kemudian dia bercerita tentang awal mulanya dia bertobat dan meninggalkan dunia kelamnya itu. Suatu hari di pertengahan tahun 2000, Dieke bermaksud menengok keluarganya di Indonesia. Di tanah airnya dia menyempatkan bertandang ke rumah sahabat dekatnya, Indra, yang saat itu mengelola sebuah penginapan di tempat wisata Bukit Lawang di lembah gunung Leuser, Medan. Indra adalah kawan berbagi kemabukan dan dunia drug di Melbourne. Namun betapa kagetnya ketika dia mengunjungi kawannya itu. Indra sudah berubah. Indra sudah meninggalkan dunia gelapnya. Sekarang sahabatnya itu telah memeluk Islam yang kaaffah dan mencoba kembali ke jalan-Nya sambil mengelola sebuah cottage di tempat wisata tersebut. Tak zeperti biasanya, Dieke tak menemui botol-botol minuman kharam di penginapan itu. Sungguh berbanding terbalik dibanding sosok Indra beberapa tahun yang lampau pikirnya. Kebetulan saat itu, Indra sedang kedatangan beberapa tamu, serombongan jamaah tabligh yang menginap di penginapannya. Saat dia berkunjung ke penginapan itu, Dieke masih bergaya bak Bob Marley (1945-1981), seorang pemusik asal Jamaica. Dieke terbiasa memakai tiga anting di telinga kirinya dan berambut panjang sepinggul. Preman choi!!!
Tak disangka, salah seorang anggota jamaah tabligh itu mendekati dirinya. “Apakah Anda tidak ingin kembali ke jalan Allah?”. Dieke terkejut, “Maksud Anda apa?”. Orang berjubah dan berjanggut itu melanjutkan, “ucapkanlah la ilaha illal lah, maka dosa Anda terampuni dan Anda akan masuk surga Allah SWT.”. Dieke terdiam dan mendengarkan lagi kata-kata orang tadi. Dieke tak tahu mengapa dia bisa membiarkan orang asing ini menasihati dirinya. “Andai Anda mau, ikutilah kami untuk berkeliling ke Aceh melihat saudara-saudara Muslim kita. Insya Allah hati Anda akan tenang, Kalau mau besok kita pergi dari Medan menuju Aceh.” Orang itu terus berbicara. Dieke merasa ada tantangan yang harus dilakukan, “OK, saya ingin tahu saja. Saya ikut Anda dan rombongan besok ke Aceh.” Dieke pun heran mengapa dia mau saja diajak berkeliling ke Aceh? Selama perjalanan, Dieke ditemani Indra. Sejak saat itulah Dieke mulai belajar Islam sedikit demi sedikit dan mendengarkan “tasykil” (ceramah) para maulana. Dia ikuti perjalanan dakwah dari mulia tiga hari hingga 40 hari. Dia bercerita bahwa dia pernah mengunjungi ijtima’ (perkumpulan) besar anggota jama’ah tabligh di Nizamuddin, New Delhi hingga dua kali.
Dieke merasa bersyukur bahwa ia telah mendapatkan nur Allah kembali. Dia bercita-cita hendaknya umat Islam bisa bersatu menancapkan kalimat Allah yang maha mulia. Dia berpesan agar dalam percakapan janganlah orang berbicara tentang khilafiah (perbedaan mazhab), politik, dan dunia. Berbicaralah tentang keagungan Allah dan keimanan melalui jalan hikmah. Membawa seseorang menuju manisnya iman, baginya, tak harus melalui jalan debat dan pemaksaan. Ia yakin bahwa mengajak orang sholat dengan dua kata, “Shalat yuk” adalah hikmah tanpa harus melukai perasaan orang yang diajak. Pandangan Dieke ini merupakan buah dari perjalanan spiritualnya. Selama bergaul dengan jama’ah tabligh, Dieke merasa bahwa mereka sangat memanusiakannya. Dia tak pernah dihina dan dikucilkan meski kali pertama dia bergabung dengan mereka, dia masih berpenampilan preman yang masih nol pemahaman ibadah dan keislamannya. Ada lagi yang membuatnya yakin bahwa do'a ibu lah yang membuatnya dia bisa menerima Islam kembali. Dia berpendapat, andaikata sang bunda tak pernah mendo'akan dia dalam setiap shalatnya, maka dia mungkin tak akan lagi mendengar alun panggilan Allah. Semoga saja kita bisa mereguk manisnya iman dan takwa hingga nafas terakhir lepas dari badan kita. Aamiin.TAMAT

Rabu, 13 Agustus 2008

Dari Ilalang Cihuni ke Penjuru Bumi”


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Wednesday, 13 August 2008
Acara besar yang dihadiri puluhan ribu orang dari dalam dan luar negeri. Tanpa liputan media, tanpa spanduk ataupun poster. "Dai" nya disebar ke 'penjuru bumi'

ImageHidayatullah.com—Puluhan ribu orang menyemut berpakaian putih-putih. Sepinya hutan di Desa Cihuni, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang siang itu seolah sirna karena hadirnya lautan manusia. Jumat (8/ 8) kemarin, tepat di area hutan yang banyak ditumbuhi ilalang dan dipenuhi Pepohon Kelapa ini berubah menjadi lautan manusia. Lantunan ayat suci Al-Quran dan bau aroma minyak wangi turut menambah kekhusukan di tengah area hijau yang jauh dari rumah penduduk itu.

Inilah sebuah hajatan berkelas internasional. Bertempat di hutan ilalang, tepatnya di lahan perkebunan kelapa seluas 35 hektar, di dekat danau di kawasan Serpong, Banten, di bagian barat Pulau Jawa.

Meski dianggap hajatan internasional, Anda tidak akan menemukan spanduk atau backdrop raksasa. Tidak pula tempelan poster dan famplet, atau bahkan serabutan moncong kamera dan riuh wartawan.

“Asas (acara ijtima ini) kesederhanaan saja,” ujar Ustadz Luthfi Yusuf, salah seorang dewan syuro gerakan dakwah Jamaah Tabligh Indonesia kepada www.hidayatullah.com di sela acara yang berlangsung pada 8-10 Agustus lalu ini.

ImageYa, ini adalah pertemuan tahunan para dai gerakan dakwah transnasional, Jamaah Tabligh markas Indonesia. Acara yang dihadiri 50 ribu lebih orang dari dalam dan luar negeri. Dari acara ini dikeluarkan 19 ribu-an jamaah untuk berdakwah ke seluruh Indonesia bahkan ke manca negara. Ke Amerika, Afrika, Australia, Suriname, hingga Eropa. Dana dakwah dari kocek sendiri. “Berkorban untuk agama dengan harta dan diri sendiri,” tukas Abdurrahman, seorang penanggung jawab ijtima asal Jawa Tengah.

Menjelang Sholat Jumat, Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan pengawalan cukup ketat dari Paspampres hadir ditengah ribuan jamaah yang kerap disebut Jamaah tabligh tersebut. Yah, Jusuf Kalla didampingi Bupati Tangerang H Ismet Iskandar menghadiri Ijtimah Jamaah Tabligh yang digelar pertama kalinya di Tangerang.

Acara ijtima ini, lanjut Ustadz Luthfi, adalah untuk meneladani perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallaam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. “(Jadi) nggak perlu hotel. Ini kan semuanya sama, berbaur. Jadi mendekat dengan perjuangan Nabi SAW dan para sahabatnya r.hum,” tambah ustadz lulusan Mesir dan Pakistan yang juga pimpinan sebuah pondok pesantren di Bajarmasin, Kalimantan Selatan ini.

Meski terbilang sederhana, namun acara ini jauh dari kesan asal-asalan. Menurut Abdurrahman, seorang penanggung jawab ijtima asal Jawa Tengah, persiapan acara sudah dilakukan sejak empat bulan sebelumnya. Lebih dari lima ribu orang dikerahkan tanpa dibayar sepeserpun. “Lillahi ta’ala. Dari kita untuk kita,” kata Abdurrahman. Meski demikian juga ada infak dari para muhsinin, termasuk penyedian lahan untuk ijtima.

Jenggot, gamis dan siwak

ImageMemasuki area ijtima yang hanya khusus untuk kaum Adam ini, anda akan melewati sejumlah posko penerima tamu (istiqbal). Bahkan saat kedatangan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang biasanya disambut gegap gempita, kali ini hanya disambut biasa saja.

Saat datang, tidak banyak penjagaan di lokasi acara. Malah saat Kalla memasuki wilayah, tidak semua Paspampres diizinkan masuk. Wartawan dilarang mengambil gambar dan foto. Pun, wartawan perempuan tidak diperbolehkan keluar dari mobil.

Dari sini, peserta dan tamu akan diarahkan ke tempatnya masing-masing. Ada tenda untuk tamu khusus (khowas), tenda jamaah luar negeri, tenda untuk para ustadz, juga tenda-tenda berdasarkan provinsi asal peserta. Total tenda yang terbentang: 15 hektar!

Para syaikh ditempatkan dalam bangunan semi permanen yang terbuat dari bilik bambu. Apik. Tapi semua berbaur dalam suasana dakwah, saling mengingatkan tentang kebesaran Allah SWT dan kekalnya negeri akhirat. Suasana sunnah terlihat.

Tidak dijumpai orang berdasi di sini. Apalagi kaum wanita. Yang lazim ditemui adalah pria-pria berjenggot berbaju gamis lengkap dengan siwak terselip di saku.

Meski bertempat di perkebunan kelapa, fasilitas di sini cukup lengkap. Penyelenggara menyediakan sekitar 1500 wc semi-permanen untuk urusan buang-membuang hajat. Untuk wudhu dan mandi, terbentang ratusan meter parit dari terpal, dialiri air yang disedot oleh mesin pompa kelas berat di kiri dan kanan medan ijtima.

Disediakan juga sejumlah pos pelayanan: seperti pos kesehatan, pos transportasi, pos barang hilang, hingga pos penitipan barang berharga.

Penyelenggara juga menyediakan hidangan sebanyak 10 ribu nampan untuk 50 ribu-an orang. Satu nampan untuk lima orang. Menunya variatif, kadang nasi kebuli, sekali waktu nasi dengan ikan bawal dan sayur terong.

Multi Bahasa

Saat tiba waktu shalat, seluruh peserta diarahkan ke tenda area shalat. Sambil menunggu iqamat dikumandangkan, para petugas keamaanan (hirosah) shalat lebih dahulu secara terpisah, agar mereka bisa mengawasi jalannya shalat puluhan ribu jamaah ini.

Selepas shalat, bayan (ceramah) pun digelar. Tidak perlu khawatir dengan masalah bahasa. Penyelenggara telah menyiapkan tim penerjemah: ada penerjemah dari bahasa Urdu atau Arab ke bahasa Indonesia, Urdu ke Arab, Urdu ke Tagalog, hingga terjemah bahasa Thailand.

“Terjemah ke bahasa Inggris juga ada,” kata Isnandar, seorang petugas pembawa acara.

Bayan biasanya diisi oleh para syaikh senior. Umumnya berasal dari Pakistan, Bangladesh, atau India – tempat berdirinya gerakan jamaah ini. Di sini peserta diingatkan akan urgensi agama dan dakwah sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagian dunia dan akhirat. Para syaikh juga menyampaikan poin-poin penting sebagai bekal dakwah. Seperti masalah iman kepada Allah dan rasul-Nya, pentingnya mendirikan shalat berjamaah dan keutamaan menuntut ilmu.

Para syaikh juga menjelaskan sejumlah adab dan tata tertib dakwah kepada para peserta. Para peserta yang akan keluar berdakwah (khuruj) dikelompokkan dalam satu jamaah. Tiap jamaah rata-rata berisi 10 orang yang dipimpin seorang amir jamaah. Karenanya, para syaikh juga menjelaskan sejumlah adab tentang praktek berjamaah. Di antaranya, setiap anggota jamaah wajib taat kepada amir selama amir tersebut taat kepada Allah dan rasul-Nya. Sebaliknya, amir juga harus perhatian dan tidak menzhalimi anggota jamaahnya. Tapi tenang, tidak ada acara baiat ataupun mandi kembang tujuh rupa dalam masalah amir ini.

Hari ketiga, puncak acara ijtima. Sebelum para jamaah dakwah dilepas, syaikh akan memberikan bayan (pesan) hidayah. Nasihat pamungkas kepada pada dai sebagai bekal dakwah. Bayan ditutup dengan doa bersama, agar Allah SWT sudi menurunkan hidayahnya ke seluruh manusia. Kemudian, para jamaah dakwah ber-mushafahah, berjabat tangan dengan para syaikh untuk melepas keberangkatan mereka ke medan dakwah.

Pada penutupan acara, para masyayyikh, diantaranya Syeikh Mustaqim, salah satu Syeikh Jamaah Tabligh (JT) asal India melepas lebih dari 19 ribu juru dakwah untuk disebar berdakwah ke seluruh Indonesia, negeri jiran, India-Pakistan-Bangladesh, Timur Tengah, bahkan ke negeri-negeri Barat.

Abdurrahman, salah seorang penanggung jawab Ijtima asal Jawa Tengah mengatakan, pelepasan dakwah ini bukan untuk memperbaiki orang lain semata. Tapi berkorban untuk agama.

“Tapi untuk ishlah (perbaiki) diri. Berkorban untuk agama dengan harta dan diri sendiri,” ujarnya kepada www.hidayatullah.com. Dari hutan di Desa Cihuni, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, jamaah JT ini akan menyebar ke penjuru bumi. [surya/www.hidayatullah.com]