Minggu, 22 Juni 2008
Sebuah situs internet Iraqiscope, semacam Youtube berbahasa Iraq menunjukkan sisi lain Iraq pasca perang. Siapa saja boleh meng-upload dan membagi 'sepotong kehidupan Iraq'
Hidayatullah.com--
Ahmed meletakkan potongan ayam ke dalam panci dan menuangnya dengan jus buah delima. Saat isi panci mulai mendidih, ia memasukkan segelas pasta wijen.
Selama 20 tahun embargo, Ahmed terbiasa makan Fasanjoon, makanan khas di Najaf, kawasan selatan Bagdad. Di Iraqscope, Ahmed menunjukkan bagaimana cara membuatnya. Memasak juga menjadi menu di situs internet itu.
Seorang pembuat film yang hidup sebagai eksil di Suriah berdiskusi dengan temannya mengenai cara membuat Tabsi. Seorang pria muda memasak sambil berkomunikasi dengan ibunya lewat video di internet. Sang ibu di Iraq berbicara di depan webcam, memberi instruksi pada sang anak yang tak tak tahu tomatnya harus diapakan.
"Warga Iraq sangat bangga dengan dapurnya. Mereka yang tinggal di luar negeri khususnya, di Suriah atau Yordania, mengganggapnya sangat penting, mereka selalu bicara tentang betapa enaknya makanan Iraq. Tapi jarang ada buku resep makanan Iraq, jadi kami putuskan ya kita sediakan saja kategori memasak, dan kita lihat apa yang terjadi", kata Klaas Glenewinkel.
Ia dari organsiasi non pemerintah Media in Cooperation and Transition adalah salah satu penggagas Iraqiscope. Mereka membangun portal video itu dengan dukungan badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan UNESCO, dan Kementrian Luar Negeri Jerman.
Klaus Glenewinkel mengatakan, "Dengan Iraqiscope kami ingin menunjukkan kenyataan di Iraq, yang selama ini tidak diketahui. Tentu saja orang tahu Iraq dari media massa, dari CNN, Al Jazeera, tapi orang tidak mengenal Iraq dari perspektif warga Iraq sendiri."
Dan memasak, termasuk dalam perspektif itu, sama dengan politik, stress, universitas atau saat jatuh cinta pertama kali.
Lima tahun setelah invasi AS dan runtuhnya rejim Saddam Hussein, internet mulai umum dikenal di Iraq. Tapi hampir tak orang yang punya akses internet di rumah. Merekam dengan video kamera secara terang-terangan di jalan, juga bisa mengundang bahaya. Belum lagi jalan menuju kafe internet. Harapan terakhir, semoga hubungan lewat satelit tak ada gangguan.
Meski begitu ada sekitar 200 film di Iraqiscope. Dikirim oleh pembuat film pemula yang mempromosikan karya-karya mereka, juga banyak orang awam yang dengan telepon genggam merekam teman atau keluarga.
Klaus Glenewinkel mengatakan, "Orang beruntung kalau aliran listrik tidak terputus, karena mungkin perlu waktu 3/4 jam untuk meng-upload sebuah film. Situasinya sangat sulit."
Film lain di Iraqiscope memperlihatkan pesta pernikahan, penjual sayur pojok jalan, remaja yang frustasi, anak muda yang memanfaatkan lapangan parkir yang tak terpakai lagi untuk tempat kumpul dan minum-minum. Mereka tak punya tempat lain.
Film-film di Iraqiscope menunjukkan sebuah masyarakat yang menderita di bawah rejim Saddam Hussein dan invasi Amerika serta masa depan yang tak pasti.
Dulu kami disensor, sekarang kami dibunuh, kata seorang penulis di salah satu film. Dia takut fotonya muncul di koran. Agar tak membahayakan para pembuat film, dan orang-orang yang tampil di film, Iraqiscope menyediakan kategori khusus yang melidungi identitas si pencerita.
Dengan mengenakan topeng kertas atau dibawah bayang-bayang, warga Iraq menuturkan kisah yang biasanya mereka tutup-tutupi. Tentang pemerintah, tentang penyiksaan seksual, dan tentang kurun waktu, 50,60 tahun silam, ketika negeri itu belum dicabik-cabik perang antar kelompok agama.
Perang antar kelompok agama dimulai saat Saddam dijatuhkan, kata pria berusia 73 tahun. Ia berharap, Iraq segera bersatu kembali.
Sementara ini, Iraqiscope bisa merayakan keberhasilan kecil. Seorang sutradara Iraq diundang ke festifal film Arab di Rotterdam, setelah filmnya ditemukan penyelenggara festival di situs internet Iraqiscope. [dwwd/http://hidayatullah.com/]
Kamis, 10 Juli 2008
Rabu, 02 Juli 2008
Empat Skenario Kelanjutan Teknologi Nuklir Iran
Rabu, 02 Juli 2008
Sebagian analis memprediksikan opsi serangan militer atas program nuklir Iran hanya tinggal menunggu waktu. Apa yang bakal terjadi? inilah skenarionya
Analisis Dunia Islam
Oleh Musthafa Luthfi *
Skenario militer baik yang akan dilakukan oleh Israel maupun AS terhadap instalasi nuklir Iran masih perlu waktu cukup lama. Latihan besar-besaran yang dilakukan Israel minggu pertama Juni lalu seperti yang diberitakan surat kabar AS, New York Times Jum`at (20/6) tak lebih sekedar perang urat syaraf.Surat kabar itu, menyebutkan negara zionis melakukan latihan besar-besaran melibatkan sekitar 100 pesawat F-15 dan F-16 buatan AS di bagian barat Laut Tengah bersama angkatan udara (AU) Yunani. Sebelum menyerang instalasi nuklir Iraq tahun 1981, negeri Yahudi itu melakukan latihan serupa.
Karenanya, sejumlah analis memprediksikan bahwa opsi serangan militer atas program nuklir Iran tinggal menunggu waktu apalagi latihan itu bersamaan dengan tawaran Barat yang dibawa Petinggi Uni Eropa, Javier Solana berisi insentif bagi Iran bila negeri Mullah ini siap menghentikan pengayaan uranium.Tel Aviv sepertinya sudah memastikan bahwa tawaran itu bakal ditolak Teheran, karena pengayaan uranium merupakan kebijakan yang tidak boleh ditunda. Latihan militer besar-besaran Israel dimaksudkan untuk mengintimidasi Iran agar berpikir dua kali untuk menolak tawaran tersebut bukan sebagai pertanda serangan dalam waktu dekat.
Israel masih kesulitan untuk melakukan serangan militer dalam waktu dekat baik secara teknis maupun non teknis. Secara teknis Iran memiliki pertahanan udara mutakhir melalui pasokan penangkis udara paling modern di dunia buatan Rusia dan secara non teknis masih dihadapkan kepada penolakan Barat termasuk AS dan sekutu Iran terutama Rusia dan China.
Dengan melihat perkembangan terakhir setelah latihan serangan udara besar-besaran negeri Yahudi tersebut, sedikitnya ada empat kemungkinan skenario yang boleh jadi diterapkan di lapangan dalam menangani isu nuklir negeri Persia itu.
Skenario pertama merupakan skenario harapan Iran yaitu penguluran waktu dibarengi peningkatan derajat ketegangan pernyataan dan ancaman timbal balik pihak-pihak yang terlibat sambil menunggu pengalihan krisis ke pemimpin baru AS pasca George W Bush yang mungkin lebih kompromistis terhadap Iran .
Skenario ini disebabkan oleh ketidakmampuan penyelesaian secara militer dan juga ketidakberdayaan strategi “deterrence” secara ekonomi dan politik menghadapi Iran sebagai akibat tidak adanya kesatuan sikap kuat internasional yang menjadi syarat keberhasilan strategi dimaksud.
Skenario kedua adalah peningkatan embargo yang dapat membuat ekonomi Iran sulit sehingga mendorong negeri itu bersikap fleksibel menurut perspektif Barat sehingga mengarah kepada perundingan serius. Tapi yang kedua ini kelihatannya jauh dari kenyataan sebab penyelesaian isu nuklir Iran lebih didasari perinsip “tongkat” alias ancaman bukan “wortel” atau “roti” alias iming-iming.
Sedangkan skenario ketiga adalah persetujuan tingkat minimal antara Iran dan Barat dalam kerangka paket insentif yang ditawarkan Uni Eropa terutama yang berkaitan dengan pengakuan Barat terhadap peran regional Iran sehingga terdapat penawaran baru diluar masalah nuklir berbentuk “wortel” yang menarik bagi Teheran.
Skenario ketiga ini mencoba mengaitkan antara isu nuklir dan isu-isu lainnya yang masih dipertentangan Barat dan Iran . Dengan demikian terdapat pengakuan bahwa isu nuklir tidak bisa dipisahkan dengan isu-isu lainnya termasuk peran Iran dalam penyelesaian konflik Timur Tengah.
Skenario keempat adalah skenario bencana besar yaitu serangan militer yang dilakukan oleh Israel pada bulan Nopember mendatang saat pemilihan Presiden di AS atau pada bulan Januari 2009 saat alih kekuasaan dari Bush kepada penggantinya. Bila Barack Obama terpilih, hasrat Tel Aviv untuk menyerang Iran makin kuat karena sikap Obama yang dinilai lunak terhadap Iran .
Meskipun tidak mendapat dukungan Washington mengingat pertimbangan yang telah disebutkan pada skenario pertama sebelumnya, namun Israel bisa melakukan sendiri sebab harus mengejar waktu sebelum Teheran benar-benar mampu membuat bom atom.
Mantan pimpinan intelijen luar negeri Israel , Shabtai Shavit kepada mingguan Inggris, Sunday Telegraph Minggu (29/6) menegaskan bahwa serangan dilakukan tanpa harus persetujuan Washington . Alasannya, jika John McCain terpilih dia sulit memutuskan dukungan dan bila Obama terpilih bakal tidak menyetujuinya minimal pada periode pertama jabatannya sementara Iran diprediksikan dalam waktu setahun atau setahun setengah sudah mampu membuat bom nuklir.
Bagi pejabat-pejabat tinggi Israel yang mendukung skenario keempat ini, kekacauan umum yang ditimbulkan serangan militer, dampak dari balasan Iran dan biaya sangat mahal yang disebabkan konflik militer baru setelah bencana di Iraq, tidak seberapa dibandingkan harga yang harus dibayar bila Iran akhirnya benar-benar mampu memproduksi bom atom.
Sebatas teknologi
Yang sedang berjalan di lapangan adalah skenario pertama yang memang sengaja dipilih Iran yaitu taktik mengulur waktu hingga pengayaan uranium mencapai tingkat kemampuan membuat senjata atom tercapai, walaupun tidak bertujuan memproduksi langsung senjata nuklir.
Dengan kata lain, Iran , melalui taktik ulur waktu mencoba mencontoh model Jepang. Negeri matahari terbit itu yang menjadi satu-satunya negara korban senjata atom telah berhasil menguasai teknologi pembuatan senjata nuklir namun masih enggan memproduksinya.
Skenario ini akhirnya bisa mengarah kepada "win-win solution" yakni tidak ada pihak yang merasa kalah. Iran akhirnya menghentikan pengayaan uranium setelah tujuan pengusaan teknologi nuklir tercapai, dan sebagai imbalannya Iran diberikan peran besar di lingkup regional termasuk dalam penyelesaian masalah Timur Tengah.
Iran sejauh ini masih mampu meyakinkan dunia bahwa tidak ada niat membuat bom karena target utama memang menguasai teknologi nuklir. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperkuat hal itu sehingga masyarakat dunia tetap menolak penyelesaian militer dengan dalih tidak ada isyarat Teheran akan memproduksi senjata pemusnah massal tersebut.
Negeri berpendukuk mayoritas Muslim Syiah Imamiyah itu dalam dua tahun belakangan ini juga cukup lihai memperlebar kesenjangan sikap antara musuh-musuhnya (AS-Eropa) sehingga antara AS dan Eropa terdapat perbedaan sudut pandang yang masih lebar tentang cara menangani kasus nuklir Iran .
Teheran juga sudah siaga sejak dini menghadapi kemungkinan terburuk dengan menonjolkan kartu "As" (unsur kekuatan) yang dimilikinya sehingga dunia berpikir dua kali untuk mendukung opsi militer.
Diantara kartu “As” yang dipegang Iran adalah Selat Harmouz yang menjadi jalan keluar minyak Teluk ke manca negara. Iran siap menjadikan selat startegis itu sebagai lautan api bila diserang, sama yang dilakukan Mesir di zaman Presiden Anwar Sadat saat menutup Terusan Suez setelah perang Arab-Israel.
Teheran juga siap menggunakan senjata minyak yang bisa menggoncangkan perekonomian dunia apalagi dalam situasi harga minyak yang tak terkontrol saat ini. Tidak seperti yang dialami sebagian negara Teluk lainnya yang justeru minyak menjadi unsur pelemah karena khawatir akan masa depan bila menggunakan senjata minyak.
Dengan beberapa kartu “As” yang sudah ditangan itu membuat pejabat-pejabat tinggi Iran termasuk Presiden Ahmadi Nejad dengan tenang menghadapi ancaman Israel yang dinilai sekedar perang urat syaraf. Ibarat anjing yang menggonggong biasanya tidak menggigit.
Pengalaman sebelumnya memang membuktikan, bahwa serangan atas reaktor nuklir Iraq pada Juni 1981 dan reaktor Suriah belum lama ini tidak pernah didahului oleh ancaman Israel. Kenyataan ini memantapkan pendapat sebagian petinggi Iran bahwa "anjing menggonggong tidak akan menggigit" , seandainya menggigit sudah disiapkan balasan yang “mengerikan”.
Manfaatkan kesalahan strategis
Peluang lainnya yang bisa dimanfaatkan Iran untuk melancarkan skenario pertama dimaksud adalah kemampuan negeri ini memanfaatkan kesalahan strategis musuh bebuyutannya saat menghadapi musuh-musuh Iran yang tidak asasi seperti Iraq dan Afganistan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran berperan besar dalam pendudukan AS atas Irak dan Afganistan. Rezim Saddam dan Thaliban merupakan musuh sampingan Iran dan ``berkoalisi`` dengan musuh bebuyutan untuk menjatuhkan musuh-musuh sampingan tersebut dengan harapan musuh bebuyutan terperangkap dalam rawa-rawa Irak dan Afganistan.
Target Teheran akhirnya terbukti, AS salah strategi di Iraq dan Afganistan karena terlibat dalam perang yang menguras tenaga dan biaya. Pasukan negeri Paman Sam itu seperti tidak berdaya lagi untuk harus berperang lagi melawan Iran .
Pasukan AS di Iraq dan Afganistan menjadi target balas dendam yang mudah bagi Iran bila instalasi nuklirnya dihantam. Karena itu, banyak analis yang berkeyakinan bahwa serangan militer opsi yang masih sulit diterapkan dalam jangka waktu setahun belakangan ini.
Bila diterapkan setelahnya, Iran dipastikan sudah mengubah sikap yaitu menyetujui insentif Uni Eropa karena tujuan utamanya menguasai teknologi nuklir sudah tercapai dalam rentang waktu setahun itu.
Satu lagi yang perlu dicatat, bila target Iran itu kesampaian merupakan peluang juga bagi negara-negara Arab lainnya terutama Mesir dan negara-negara Teluk kaya minyak untuk melakukan langkah yang sama tanpa khawatir penolakan Israel sebagai musuh bersama.
Dengan alasan “ancaman” dari Iran , Barat sulit menolak keinginan dunia Arab untuk menguasai teknologi yang sama. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan upaya penguasaan teknologi nuklir Iran justeru menguntungkan Arab untuk mencapai balance of fear dengan Israel yang menjadi musuh sejati.
Semestinya dunia Arab menutup telinga dari propaganda zionisme yang didukung AS selama ini yang mengecap Iran sebagai ancaman utama dunia Arab. Bila terpengaruh propaganda itu, justeru impian solidaritas Muslim yang didambakan umat Islam sedunia makin jauh dari kenyataan.
Sana’a – Yaman, 2 Juli 2008/www.hidayatullah.comPenulis pemerhati Timur Tengah, mantan wartawan ANTARA dan kini sedang bermukim di Sana’a, Yaman
Sebagian analis memprediksikan opsi serangan militer atas program nuklir Iran hanya tinggal menunggu waktu. Apa yang bakal terjadi? inilah skenarionya
Analisis Dunia Islam
Oleh Musthafa Luthfi *
Skenario militer baik yang akan dilakukan oleh Israel maupun AS terhadap instalasi nuklir Iran masih perlu waktu cukup lama. Latihan besar-besaran yang dilakukan Israel minggu pertama Juni lalu seperti yang diberitakan surat kabar AS, New York Times Jum`at (20/6) tak lebih sekedar perang urat syaraf.Surat kabar itu, menyebutkan negara zionis melakukan latihan besar-besaran melibatkan sekitar 100 pesawat F-15 dan F-16 buatan AS di bagian barat Laut Tengah bersama angkatan udara (AU) Yunani. Sebelum menyerang instalasi nuklir Iraq tahun 1981, negeri Yahudi itu melakukan latihan serupa.
Karenanya, sejumlah analis memprediksikan bahwa opsi serangan militer atas program nuklir Iran tinggal menunggu waktu apalagi latihan itu bersamaan dengan tawaran Barat yang dibawa Petinggi Uni Eropa, Javier Solana berisi insentif bagi Iran bila negeri Mullah ini siap menghentikan pengayaan uranium.Tel Aviv sepertinya sudah memastikan bahwa tawaran itu bakal ditolak Teheran, karena pengayaan uranium merupakan kebijakan yang tidak boleh ditunda. Latihan militer besar-besaran Israel dimaksudkan untuk mengintimidasi Iran agar berpikir dua kali untuk menolak tawaran tersebut bukan sebagai pertanda serangan dalam waktu dekat.
Israel masih kesulitan untuk melakukan serangan militer dalam waktu dekat baik secara teknis maupun non teknis. Secara teknis Iran memiliki pertahanan udara mutakhir melalui pasokan penangkis udara paling modern di dunia buatan Rusia dan secara non teknis masih dihadapkan kepada penolakan Barat termasuk AS dan sekutu Iran terutama Rusia dan China.
Dengan melihat perkembangan terakhir setelah latihan serangan udara besar-besaran negeri Yahudi tersebut, sedikitnya ada empat kemungkinan skenario yang boleh jadi diterapkan di lapangan dalam menangani isu nuklir negeri Persia itu.
Skenario pertama merupakan skenario harapan Iran yaitu penguluran waktu dibarengi peningkatan derajat ketegangan pernyataan dan ancaman timbal balik pihak-pihak yang terlibat sambil menunggu pengalihan krisis ke pemimpin baru AS pasca George W Bush yang mungkin lebih kompromistis terhadap Iran .
Skenario ini disebabkan oleh ketidakmampuan penyelesaian secara militer dan juga ketidakberdayaan strategi “deterrence” secara ekonomi dan politik menghadapi Iran sebagai akibat tidak adanya kesatuan sikap kuat internasional yang menjadi syarat keberhasilan strategi dimaksud.
Skenario kedua adalah peningkatan embargo yang dapat membuat ekonomi Iran sulit sehingga mendorong negeri itu bersikap fleksibel menurut perspektif Barat sehingga mengarah kepada perundingan serius. Tapi yang kedua ini kelihatannya jauh dari kenyataan sebab penyelesaian isu nuklir Iran lebih didasari perinsip “tongkat” alias ancaman bukan “wortel” atau “roti” alias iming-iming.
Sedangkan skenario ketiga adalah persetujuan tingkat minimal antara Iran dan Barat dalam kerangka paket insentif yang ditawarkan Uni Eropa terutama yang berkaitan dengan pengakuan Barat terhadap peran regional Iran sehingga terdapat penawaran baru diluar masalah nuklir berbentuk “wortel” yang menarik bagi Teheran.
Skenario ketiga ini mencoba mengaitkan antara isu nuklir dan isu-isu lainnya yang masih dipertentangan Barat dan Iran . Dengan demikian terdapat pengakuan bahwa isu nuklir tidak bisa dipisahkan dengan isu-isu lainnya termasuk peran Iran dalam penyelesaian konflik Timur Tengah.
Skenario keempat adalah skenario bencana besar yaitu serangan militer yang dilakukan oleh Israel pada bulan Nopember mendatang saat pemilihan Presiden di AS atau pada bulan Januari 2009 saat alih kekuasaan dari Bush kepada penggantinya. Bila Barack Obama terpilih, hasrat Tel Aviv untuk menyerang Iran makin kuat karena sikap Obama yang dinilai lunak terhadap Iran .
Meskipun tidak mendapat dukungan Washington mengingat pertimbangan yang telah disebutkan pada skenario pertama sebelumnya, namun Israel bisa melakukan sendiri sebab harus mengejar waktu sebelum Teheran benar-benar mampu membuat bom atom.
Mantan pimpinan intelijen luar negeri Israel , Shabtai Shavit kepada mingguan Inggris, Sunday Telegraph Minggu (29/6) menegaskan bahwa serangan dilakukan tanpa harus persetujuan Washington . Alasannya, jika John McCain terpilih dia sulit memutuskan dukungan dan bila Obama terpilih bakal tidak menyetujuinya minimal pada periode pertama jabatannya sementara Iran diprediksikan dalam waktu setahun atau setahun setengah sudah mampu membuat bom nuklir.
Bagi pejabat-pejabat tinggi Israel yang mendukung skenario keempat ini, kekacauan umum yang ditimbulkan serangan militer, dampak dari balasan Iran dan biaya sangat mahal yang disebabkan konflik militer baru setelah bencana di Iraq, tidak seberapa dibandingkan harga yang harus dibayar bila Iran akhirnya benar-benar mampu memproduksi bom atom.
Sebatas teknologi
Yang sedang berjalan di lapangan adalah skenario pertama yang memang sengaja dipilih Iran yaitu taktik mengulur waktu hingga pengayaan uranium mencapai tingkat kemampuan membuat senjata atom tercapai, walaupun tidak bertujuan memproduksi langsung senjata nuklir.
Dengan kata lain, Iran , melalui taktik ulur waktu mencoba mencontoh model Jepang. Negeri matahari terbit itu yang menjadi satu-satunya negara korban senjata atom telah berhasil menguasai teknologi pembuatan senjata nuklir namun masih enggan memproduksinya.
Skenario ini akhirnya bisa mengarah kepada "win-win solution" yakni tidak ada pihak yang merasa kalah. Iran akhirnya menghentikan pengayaan uranium setelah tujuan pengusaan teknologi nuklir tercapai, dan sebagai imbalannya Iran diberikan peran besar di lingkup regional termasuk dalam penyelesaian masalah Timur Tengah.
Iran sejauh ini masih mampu meyakinkan dunia bahwa tidak ada niat membuat bom karena target utama memang menguasai teknologi nuklir. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperkuat hal itu sehingga masyarakat dunia tetap menolak penyelesaian militer dengan dalih tidak ada isyarat Teheran akan memproduksi senjata pemusnah massal tersebut.
Negeri berpendukuk mayoritas Muslim Syiah Imamiyah itu dalam dua tahun belakangan ini juga cukup lihai memperlebar kesenjangan sikap antara musuh-musuhnya (AS-Eropa) sehingga antara AS dan Eropa terdapat perbedaan sudut pandang yang masih lebar tentang cara menangani kasus nuklir Iran .
Teheran juga sudah siaga sejak dini menghadapi kemungkinan terburuk dengan menonjolkan kartu "As" (unsur kekuatan) yang dimilikinya sehingga dunia berpikir dua kali untuk mendukung opsi militer.
Diantara kartu “As” yang dipegang Iran adalah Selat Harmouz yang menjadi jalan keluar minyak Teluk ke manca negara. Iran siap menjadikan selat startegis itu sebagai lautan api bila diserang, sama yang dilakukan Mesir di zaman Presiden Anwar Sadat saat menutup Terusan Suez setelah perang Arab-Israel.
Teheran juga siap menggunakan senjata minyak yang bisa menggoncangkan perekonomian dunia apalagi dalam situasi harga minyak yang tak terkontrol saat ini. Tidak seperti yang dialami sebagian negara Teluk lainnya yang justeru minyak menjadi unsur pelemah karena khawatir akan masa depan bila menggunakan senjata minyak.
Dengan beberapa kartu “As” yang sudah ditangan itu membuat pejabat-pejabat tinggi Iran termasuk Presiden Ahmadi Nejad dengan tenang menghadapi ancaman Israel yang dinilai sekedar perang urat syaraf. Ibarat anjing yang menggonggong biasanya tidak menggigit.
Pengalaman sebelumnya memang membuktikan, bahwa serangan atas reaktor nuklir Iraq pada Juni 1981 dan reaktor Suriah belum lama ini tidak pernah didahului oleh ancaman Israel. Kenyataan ini memantapkan pendapat sebagian petinggi Iran bahwa "anjing menggonggong tidak akan menggigit" , seandainya menggigit sudah disiapkan balasan yang “mengerikan”.
Manfaatkan kesalahan strategis
Peluang lainnya yang bisa dimanfaatkan Iran untuk melancarkan skenario pertama dimaksud adalah kemampuan negeri ini memanfaatkan kesalahan strategis musuh bebuyutannya saat menghadapi musuh-musuh Iran yang tidak asasi seperti Iraq dan Afganistan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran berperan besar dalam pendudukan AS atas Irak dan Afganistan. Rezim Saddam dan Thaliban merupakan musuh sampingan Iran dan ``berkoalisi`` dengan musuh bebuyutan untuk menjatuhkan musuh-musuh sampingan tersebut dengan harapan musuh bebuyutan terperangkap dalam rawa-rawa Irak dan Afganistan.
Target Teheran akhirnya terbukti, AS salah strategi di Iraq dan Afganistan karena terlibat dalam perang yang menguras tenaga dan biaya. Pasukan negeri Paman Sam itu seperti tidak berdaya lagi untuk harus berperang lagi melawan Iran .
Pasukan AS di Iraq dan Afganistan menjadi target balas dendam yang mudah bagi Iran bila instalasi nuklirnya dihantam. Karena itu, banyak analis yang berkeyakinan bahwa serangan militer opsi yang masih sulit diterapkan dalam jangka waktu setahun belakangan ini.
Bila diterapkan setelahnya, Iran dipastikan sudah mengubah sikap yaitu menyetujui insentif Uni Eropa karena tujuan utamanya menguasai teknologi nuklir sudah tercapai dalam rentang waktu setahun itu.
Satu lagi yang perlu dicatat, bila target Iran itu kesampaian merupakan peluang juga bagi negara-negara Arab lainnya terutama Mesir dan negara-negara Teluk kaya minyak untuk melakukan langkah yang sama tanpa khawatir penolakan Israel sebagai musuh bersama.
Dengan alasan “ancaman” dari Iran , Barat sulit menolak keinginan dunia Arab untuk menguasai teknologi yang sama. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan upaya penguasaan teknologi nuklir Iran justeru menguntungkan Arab untuk mencapai balance of fear dengan Israel yang menjadi musuh sejati.
Semestinya dunia Arab menutup telinga dari propaganda zionisme yang didukung AS selama ini yang mengecap Iran sebagai ancaman utama dunia Arab. Bila terpengaruh propaganda itu, justeru impian solidaritas Muslim yang didambakan umat Islam sedunia makin jauh dari kenyataan.
Sana’a – Yaman, 2 Juli 2008/www.hidayatullah.comPenulis pemerhati Timur Tengah, mantan wartawan ANTARA dan kini sedang bermukim di Sana’a, Yaman
KAFFARAH UNTUK NADZAR YANG TIDAK MAMPU DILAKSANAKAN
Saturday, 12 April 2008
Tanya :
Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).
Jawab :
Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.
Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara' yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :
كفارة النذر كفارة اليمين
"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :
من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين
"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
"…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :
فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }
"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).
Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).
Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.
Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat 'an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW berkata,'Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).
Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari 'an muwarritsihi fi jamii'i al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadzarnya. Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 11 April 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).
Jawab :
Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.
Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara' yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :
كفارة النذر كفارة اليمين
"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :
من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين
"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
"…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :
فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }
"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).
Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).
Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.
Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat 'an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW berkata,'Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).
Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari 'an muwarritsihi fi jamii'i al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadzarnya. Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 11 April 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
KAFFARAH UNTUK NADZAR YANG TIDAK MAMPU DILAKSANAKAN
Saturday, 12 April 2008
KAFFARAH UNTUK NADZAR YANG TIDAK MAMPU DILAKSANAKAN
Tanya :
Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).
Jawab :
Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.
Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara' yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :
كفارة النذر كفارة اليمين
"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :
من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين
"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
"…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :
فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }
"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).
Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).
Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.
Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat 'an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW berkata,'Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).
Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari 'an muwarritsihi fi jamii'i al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadzarnya. Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 11 April 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Saturday, 12 April 2008
KAFFARAH UNTUK NADZAR YANG TIDAK MAMPU DILAKSANAKAN
Tanya :
Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,"Aku bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal surat pendek Al-Qur`an." Ternyata dia beberapa kali lalai sholat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).
Jawab :
Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.
Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara' yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :
كفارة النذر كفارة اليمين
"Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :
من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين
"Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89 :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
"…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)." (QS Al-Ma`idah [5] : 89)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :
فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }
"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).
Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).
Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.
Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat 'an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,"Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya." Maka Rasulullah SAW berkata,'Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya." (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).
Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari 'an muwarritsihi fi jamii'i al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nadzarnya. Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 11 April 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
PAHAM SYIRIK MODERN SERBU PONDOK PESANTREN
Oleh: Adian Husaini *) Pada Hari Kamis (16/3/2006), seorang Ustad dari Persatuan Islam (Persis) datang ke rumah saya membawa sejumlah makalah dan majalah yang sangat mengagetkan. Betapa tidak? Makalah-makalah itu merupakan tulisan sejumlah tokoh liberal di Indonesia yang diberikan dalam acara pelatihan "Penguatan Pemahaman Keagamaan dan Keberagamaan di Kalangan Tokoh Pesantren BKSPPI di Jawa Barat" yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Pesantren Darul Muttaqien, Parung, 1 Maret 2006. Sedangkan Majalah yang dibawa itu bernama Al-WASATHIYYAH.
Majalah ini cukup mewah. Baru terbit pertama kali. Judul sampulnya adalah ‘BELAJAR MULTIKULTURALISME DARI PESANTREN’.
Yang membuat mata terbelalak adalah bahwasanya majalah ini diterbitkan atas kerjasama international Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). Tokoh-tokoh dari kedua lembaga itu selama ini dikenal oleh umat Islamsebagai pihak yang sangat berseberangan dalam pemikiran Islam.
ICIP yang dipimpin oleh Dr. M. Syafii Anwar adalah lembaga yang selama ini dikenal gigih menentang fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama (sipilis). Sementara tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) adalah pendukung-pendukung gigih fatwa MUI tersebut. Sejak duduk di bangku kuliah di IPB, saya mengenal tokoh-tokoh BKSPPI, terutama KH Shaleh Iskandar (alm), KH Tubagus Hasan Basri dan sebagainya, sebagai sosok yang gigih mengawal aqidah umat dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Tetapi, di majalah Al-Wasathiyyah ini Syafii Anwar duduk sebagai penanggung jawab. Jajaran pimpinan lainnya adalah: Syafiq Hasyim (Pemimpin Umum), A. Eby Hara (Pemimpin Redaksi), Farinia Fianto (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Fuad Fanani (Redaktur Pelaksana). Di jajaran Redaktur Ahli, duduk KH Husein Muhammad, KH Muhyidin Abdussomad, KH Didi Hilman dan Alpha Amirrachman.
Dalam jajaran tokoh liberal- pluralis di Indonesia, nama Syafii Anwar sudah sangat masyhur. Dia termasuk penentang utama fatwa MUI tentang ‘sipilis’ dan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, Syafii ikut dalam kelompok ‘Aliansi Masyarakat Madani’, yang menyatakan keprihatinan atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Selain Syafii Anwar, hadir dalam forum itu Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference Religion and Peace-ICRP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam Liberal. Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam.
Bersama para cukong dari LSM-LSM asing seperti The Asia Foundation dan sejenisnya, Syafii juga rajin menggelar acara diskusi dan seminar tentang Pluralisme Agama. Dalam seminar di Jakarta Media Center, 29 November 2005, yang mengambil tema "Masa Depan Pluralisme di Indonesia", Syafii Anwar, menggunakan istilah Gerakan Salafi Radikal untuk menyebut kelompok-kelompok Islam seperti MMI, Hizbut Tahrir, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Darul Islam, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hammas, dan sebagainya. Frase "dan sebagainya" menunjukkan, bahwa cap Islam radikal bisa dilebarkan kepada organisasi Islam apa saja yang tidak mau menerima paham Pluralisme Agama.
Dalam makalahnya yang berjudul "The State, Shari’a and The Challenge of Pluralism in Post Suharto Indonesia", Syafii menulis empat kriteria gerakan Salafi Radikal, yaitu (1) cenderung memperjuangkan ‘peradaban Islam tekstual’, (2) memperjuangkan formalisasi syariat Islam pada semua aspek kehidupan, (3) cenderung memperjuangkan agenda anti-pluralisme, (4) memiliki persepsi yang keliru tentang jihad, (5) memiliki kepercayaan yang kuat tentang teori konspirasi dan muslim adalah korban konspirasi Yahudi, Kristen, dan Barat.
Syafii menulis, "Considering the fact that emergence of RSM (Radical Salafi Movement) groups and heir actions has created serious problem to the Indonesian Society, a group of young muslim intellectuals established the so-called JIL (Jaringan Islam Liberal)." Syafii mengistilahkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam Liberal di Indonesia sebagai Progressive-Liberal Islam (PLI), seperti Paramadina, LkiS, P3M, Lakpesdam NU, Jaringan intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM),International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dimana Syafii sebagai Direkturnya, dan sebagainya.
Ia dengan tegas menulis, bahwa setelah era Soeharto, maka yang terjadi adalah pertarungan antara RSM dan PLI. Pada akhir makalahnya, ia menulis: ‘’Although I am still optimist with the future of Islam in Indonesia, it is important to state here that the Indonesian government has to protect the Indonesian Muslims from the threat of religious conservatism and radicalism."
Jadi, dalam hal ini, posisi Syafii dan ICIP sudah sangat begitu jelas di mana dia berada dalam percaturan pemikiran di Indonesia. Dia jelas-jelas agen, aktor, dan pelaku intelektual penyebaran paham pluralisme agama di Indonesia, dengan dukungan penuh LSM-LSM asing. Dengan menjual ‘isu radikalisme’ Islam, Syafii berhasil meraup dana milyaran dari cukong-cukong asing tersebut, eskipun hal itu harus disertai dengan meruntuhkan aqidah dan syariat Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama, yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menerima kebenaran semua agama. (Uraian serius tentang paham ini, bisa dilihat, misalnya, buku Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta:GIP, 2005).
Pluralisme Agama memang sebuah ‘agama baru’ yang berpotensi sebagai senjata pemusnah massal agama-agama, sehingga pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II juga mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menentang paham ini. Sebuah buku yang sangat tebal dan serius dalam memberikan kritik terhadap paham ini juga sudah ditulis oleh seorang pendeta Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul "Theologia Abu-Abu" (Malang: Gandum Mas, 2004). Menurut Stevri, "Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (hal. 18-19).
Dicatat dalam buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…
Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Sedangkan MUI dalam fatwanya juga menjelaskan: "Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga."
Karena itu, tegas fatwa MUI: "paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya."
Entah bagaimana, paham yang jelas-jelas sangat destruktif bagi semua agama ini malah
disebarkanluaskan ke pesantren-pesantren. Ironisnya, BKSPPI yang menaungi ribuan pesantren di Indonesia dan harusnya menjadi pelindung aqidah umat, justru menjalin kerjasama dengan lembaga dan tokoh-tokoh yang jelas-jelas selama ini aktif dalam melakukan penghancuran terhadap aqidah dan syariah Islam.
Lembaga ICIP juga aktif menyebarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia. Tahun 2004, ICIP menerjemahkan dan menerbitkan buku Nasr Hamid dengan judul "Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan". Nasr Hamid dikenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Dalam pengantar buku terbitan ICIP itu, redaksi ICIP menulis pendapat Nasr Hamid tentang Al-Quran, bahwa menurut Nasr Hamid, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad dan memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin) dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Di sinilah kemudian Al-Quran menjadi terhumanisasi (muta’annas), mengejewantahkan elemen-elemen, ideologis, politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M...
Abu Zayd percaya bahwa Al-Quran itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, roup, dan klas), berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Brangkat dari sini, pemahaman yang benar terhadap Al-Quran menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi
Quraisy.’’ (hal. viii-ix).
Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku Al Imam al-Syafii: wa ta’sis al-Idulujiyah al-Wasithiyah, yang menyerang habis-habisan Imam al-Syafii. Buku ini banyak dikutip para penyerang al-Quran dan Imam Syafii di Indonesia.
Karena berbagai pendapatnya yang ‘membongkar’ hal-hal yang mendasar dalam Islam, pada 14 Juni 1995, Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau --kalau yang bersangkutan tidak mau-- ia harus dikenakan hukuman mati. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan.
Sebenarnya, secara ilmiah, berbagai kelemahan pendapat Nasr Hamid juga sangat mudah dibuktikan. Sayangnya, banyak kalangan liberal yang memuja Nasr Hamid tanpa kritis.
Pendapat-pendapatnya dikutip hanya untuk melegitimasi hawa nafsu untuk mendekonstruksi
Al-Quran.
Menyimak kiprah ICIP yang aktif menyebarkan paham-paham destruktif terhadap aqidah Islam, sebenarnya terlalu jelas untuk melihat, dimana sebenarnya posisinya berada. Sangat aneh jika ICIP yang berideologi liberal, penyebar paham syirik modern (Pluralisme Agama) justru berambisi untuk memaksakan pendapatnya ke pondok-pondok pesantren. Namun, semua itu bisa dipahami dari sisi kepentingan bersama antara lembaga seperti ICIP dengan para cukong yang saat ini sangat aktif ingin mengubah Islam –bukan hanya umat Islam. Dalam istilah David E. Kaplan: "Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself." (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).
Jadi, saat ini, AS dan sekutunya memang sedang berusaha keras untuk –bukan hanya mengubah umat Islam– tetapi juga mengubah Islam itu sendiri. Jika kita melongok website www.asiafoundation.org (sampai 24 Maret 2006) masih terpampang judul pembuka website:
REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.
Jadi, yang ingin diubah oleh mereka adalah Islam. Mereka ingin membentuk ‘Islam yang baru’, sesuai dengan pandangan hidup (worldview) Barat. Karena pondok pesantren dan insitusi pendidikan Islam adalah benteng terakhir umat Islam, maka tidak heran, jika kalangan itulah yang menjadi sasaran utama untuk diobok-obok habis-habisan. Sebagaimana terjadi di era kolonialisme klasik, ada saja dari kalangan umat Islam yang tergiur untuk menjual agama dengan dunia, rela menjadi pengasong ide-ide destruktif ke jantung-jantung umat Islam. Na’udzubillahi mindzalika. (Depok, 24 Maret 2006)
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan hasil kerjasam antara Radio Dakta dan www.hidayatullah.com
Majalah ini cukup mewah. Baru terbit pertama kali. Judul sampulnya adalah ‘BELAJAR MULTIKULTURALISME DARI PESANTREN’.
Yang membuat mata terbelalak adalah bahwasanya majalah ini diterbitkan atas kerjasama international Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). Tokoh-tokoh dari kedua lembaga itu selama ini dikenal oleh umat Islamsebagai pihak yang sangat berseberangan dalam pemikiran Islam.
ICIP yang dipimpin oleh Dr. M. Syafii Anwar adalah lembaga yang selama ini dikenal gigih menentang fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama (sipilis). Sementara tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) adalah pendukung-pendukung gigih fatwa MUI tersebut. Sejak duduk di bangku kuliah di IPB, saya mengenal tokoh-tokoh BKSPPI, terutama KH Shaleh Iskandar (alm), KH Tubagus Hasan Basri dan sebagainya, sebagai sosok yang gigih mengawal aqidah umat dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Tetapi, di majalah Al-Wasathiyyah ini Syafii Anwar duduk sebagai penanggung jawab. Jajaran pimpinan lainnya adalah: Syafiq Hasyim (Pemimpin Umum), A. Eby Hara (Pemimpin Redaksi), Farinia Fianto (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Fuad Fanani (Redaktur Pelaksana). Di jajaran Redaktur Ahli, duduk KH Husein Muhammad, KH Muhyidin Abdussomad, KH Didi Hilman dan Alpha Amirrachman.
Dalam jajaran tokoh liberal- pluralis di Indonesia, nama Syafii Anwar sudah sangat masyhur. Dia termasuk penentang utama fatwa MUI tentang ‘sipilis’ dan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, Syafii ikut dalam kelompok ‘Aliansi Masyarakat Madani’, yang menyatakan keprihatinan atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Selain Syafii Anwar, hadir dalam forum itu Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference Religion and Peace-ICRP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam Liberal. Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam.
Bersama para cukong dari LSM-LSM asing seperti The Asia Foundation dan sejenisnya, Syafii juga rajin menggelar acara diskusi dan seminar tentang Pluralisme Agama. Dalam seminar di Jakarta Media Center, 29 November 2005, yang mengambil tema "Masa Depan Pluralisme di Indonesia", Syafii Anwar, menggunakan istilah Gerakan Salafi Radikal untuk menyebut kelompok-kelompok Islam seperti MMI, Hizbut Tahrir, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Darul Islam, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hammas, dan sebagainya. Frase "dan sebagainya" menunjukkan, bahwa cap Islam radikal bisa dilebarkan kepada organisasi Islam apa saja yang tidak mau menerima paham Pluralisme Agama.
Dalam makalahnya yang berjudul "The State, Shari’a and The Challenge of Pluralism in Post Suharto Indonesia", Syafii menulis empat kriteria gerakan Salafi Radikal, yaitu (1) cenderung memperjuangkan ‘peradaban Islam tekstual’, (2) memperjuangkan formalisasi syariat Islam pada semua aspek kehidupan, (3) cenderung memperjuangkan agenda anti-pluralisme, (4) memiliki persepsi yang keliru tentang jihad, (5) memiliki kepercayaan yang kuat tentang teori konspirasi dan muslim adalah korban konspirasi Yahudi, Kristen, dan Barat.
Syafii menulis, "Considering the fact that emergence of RSM (Radical Salafi Movement) groups and heir actions has created serious problem to the Indonesian Society, a group of young muslim intellectuals established the so-called JIL (Jaringan Islam Liberal)." Syafii mengistilahkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam Liberal di Indonesia sebagai Progressive-Liberal Islam (PLI), seperti Paramadina, LkiS, P3M, Lakpesdam NU, Jaringan intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM),International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dimana Syafii sebagai Direkturnya, dan sebagainya.
Ia dengan tegas menulis, bahwa setelah era Soeharto, maka yang terjadi adalah pertarungan antara RSM dan PLI. Pada akhir makalahnya, ia menulis: ‘’Although I am still optimist with the future of Islam in Indonesia, it is important to state here that the Indonesian government has to protect the Indonesian Muslims from the threat of religious conservatism and radicalism."
Jadi, dalam hal ini, posisi Syafii dan ICIP sudah sangat begitu jelas di mana dia berada dalam percaturan pemikiran di Indonesia. Dia jelas-jelas agen, aktor, dan pelaku intelektual penyebaran paham pluralisme agama di Indonesia, dengan dukungan penuh LSM-LSM asing. Dengan menjual ‘isu radikalisme’ Islam, Syafii berhasil meraup dana milyaran dari cukong-cukong asing tersebut, eskipun hal itu harus disertai dengan meruntuhkan aqidah dan syariat Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama, yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menerima kebenaran semua agama. (Uraian serius tentang paham ini, bisa dilihat, misalnya, buku Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta:GIP, 2005).
Pluralisme Agama memang sebuah ‘agama baru’ yang berpotensi sebagai senjata pemusnah massal agama-agama, sehingga pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II juga mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menentang paham ini. Sebuah buku yang sangat tebal dan serius dalam memberikan kritik terhadap paham ini juga sudah ditulis oleh seorang pendeta Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul "Theologia Abu-Abu" (Malang: Gandum Mas, 2004). Menurut Stevri, "Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (hal. 18-19).
Dicatat dalam buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…
Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Sedangkan MUI dalam fatwanya juga menjelaskan: "Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga."
Karena itu, tegas fatwa MUI: "paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya."
Entah bagaimana, paham yang jelas-jelas sangat destruktif bagi semua agama ini malah
disebarkanluaskan ke pesantren-pesantren. Ironisnya, BKSPPI yang menaungi ribuan pesantren di Indonesia dan harusnya menjadi pelindung aqidah umat, justru menjalin kerjasama dengan lembaga dan tokoh-tokoh yang jelas-jelas selama ini aktif dalam melakukan penghancuran terhadap aqidah dan syariah Islam.
Lembaga ICIP juga aktif menyebarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia. Tahun 2004, ICIP menerjemahkan dan menerbitkan buku Nasr Hamid dengan judul "Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan". Nasr Hamid dikenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Dalam pengantar buku terbitan ICIP itu, redaksi ICIP menulis pendapat Nasr Hamid tentang Al-Quran, bahwa menurut Nasr Hamid, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad dan memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin) dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Di sinilah kemudian Al-Quran menjadi terhumanisasi (muta’annas), mengejewantahkan elemen-elemen, ideologis, politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M...
Abu Zayd percaya bahwa Al-Quran itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, roup, dan klas), berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Brangkat dari sini, pemahaman yang benar terhadap Al-Quran menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi
Quraisy.’’ (hal. viii-ix).
Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku Al Imam al-Syafii: wa ta’sis al-Idulujiyah al-Wasithiyah, yang menyerang habis-habisan Imam al-Syafii. Buku ini banyak dikutip para penyerang al-Quran dan Imam Syafii di Indonesia.
Karena berbagai pendapatnya yang ‘membongkar’ hal-hal yang mendasar dalam Islam, pada 14 Juni 1995, Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau --kalau yang bersangkutan tidak mau-- ia harus dikenakan hukuman mati. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan.
Sebenarnya, secara ilmiah, berbagai kelemahan pendapat Nasr Hamid juga sangat mudah dibuktikan. Sayangnya, banyak kalangan liberal yang memuja Nasr Hamid tanpa kritis.
Pendapat-pendapatnya dikutip hanya untuk melegitimasi hawa nafsu untuk mendekonstruksi
Al-Quran.
Menyimak kiprah ICIP yang aktif menyebarkan paham-paham destruktif terhadap aqidah Islam, sebenarnya terlalu jelas untuk melihat, dimana sebenarnya posisinya berada. Sangat aneh jika ICIP yang berideologi liberal, penyebar paham syirik modern (Pluralisme Agama) justru berambisi untuk memaksakan pendapatnya ke pondok-pondok pesantren. Namun, semua itu bisa dipahami dari sisi kepentingan bersama antara lembaga seperti ICIP dengan para cukong yang saat ini sangat aktif ingin mengubah Islam –bukan hanya umat Islam. Dalam istilah David E. Kaplan: "Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself." (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).
Jadi, saat ini, AS dan sekutunya memang sedang berusaha keras untuk –bukan hanya mengubah umat Islam– tetapi juga mengubah Islam itu sendiri. Jika kita melongok website www.asiafoundation.org (sampai 24 Maret 2006) masih terpampang judul pembuka website:
REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.
Jadi, yang ingin diubah oleh mereka adalah Islam. Mereka ingin membentuk ‘Islam yang baru’, sesuai dengan pandangan hidup (worldview) Barat. Karena pondok pesantren dan insitusi pendidikan Islam adalah benteng terakhir umat Islam, maka tidak heran, jika kalangan itulah yang menjadi sasaran utama untuk diobok-obok habis-habisan. Sebagaimana terjadi di era kolonialisme klasik, ada saja dari kalangan umat Islam yang tergiur untuk menjual agama dengan dunia, rela menjadi pengasong ide-ide destruktif ke jantung-jantung umat Islam. Na’udzubillahi mindzalika. (Depok, 24 Maret 2006)
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan hasil kerjasam antara Radio Dakta dan www.hidayatullah.com
Langganan:
Postingan (Atom)