Rabu, 02 Juli 2008
Sebagian analis memprediksikan opsi serangan militer atas program nuklir Iran hanya tinggal menunggu waktu. Apa yang bakal terjadi? inilah skenarionya
Analisis Dunia Islam
Oleh Musthafa Luthfi *
Skenario militer baik yang akan dilakukan oleh Israel maupun AS terhadap instalasi nuklir Iran masih perlu waktu cukup lama. Latihan besar-besaran yang dilakukan Israel minggu pertama Juni lalu seperti yang diberitakan surat kabar AS, New York Times Jum`at (20/6) tak lebih sekedar perang urat syaraf.Surat kabar itu, menyebutkan negara zionis melakukan latihan besar-besaran melibatkan sekitar 100 pesawat F-15 dan F-16 buatan AS di bagian barat Laut Tengah bersama angkatan udara (AU) Yunani. Sebelum menyerang instalasi nuklir Iraq tahun 1981, negeri Yahudi itu melakukan latihan serupa.
Karenanya, sejumlah analis memprediksikan bahwa opsi serangan militer atas program nuklir Iran tinggal menunggu waktu apalagi latihan itu bersamaan dengan tawaran Barat yang dibawa Petinggi Uni Eropa, Javier Solana berisi insentif bagi Iran bila negeri Mullah ini siap menghentikan pengayaan uranium.Tel Aviv sepertinya sudah memastikan bahwa tawaran itu bakal ditolak Teheran, karena pengayaan uranium merupakan kebijakan yang tidak boleh ditunda. Latihan militer besar-besaran Israel dimaksudkan untuk mengintimidasi Iran agar berpikir dua kali untuk menolak tawaran tersebut bukan sebagai pertanda serangan dalam waktu dekat.
Israel masih kesulitan untuk melakukan serangan militer dalam waktu dekat baik secara teknis maupun non teknis. Secara teknis Iran memiliki pertahanan udara mutakhir melalui pasokan penangkis udara paling modern di dunia buatan Rusia dan secara non teknis masih dihadapkan kepada penolakan Barat termasuk AS dan sekutu Iran terutama Rusia dan China.
Dengan melihat perkembangan terakhir setelah latihan serangan udara besar-besaran negeri Yahudi tersebut, sedikitnya ada empat kemungkinan skenario yang boleh jadi diterapkan di lapangan dalam menangani isu nuklir negeri Persia itu.
Skenario pertama merupakan skenario harapan Iran yaitu penguluran waktu dibarengi peningkatan derajat ketegangan pernyataan dan ancaman timbal balik pihak-pihak yang terlibat sambil menunggu pengalihan krisis ke pemimpin baru AS pasca George W Bush yang mungkin lebih kompromistis terhadap Iran .
Skenario ini disebabkan oleh ketidakmampuan penyelesaian secara militer dan juga ketidakberdayaan strategi “deterrence” secara ekonomi dan politik menghadapi Iran sebagai akibat tidak adanya kesatuan sikap kuat internasional yang menjadi syarat keberhasilan strategi dimaksud.
Skenario kedua adalah peningkatan embargo yang dapat membuat ekonomi Iran sulit sehingga mendorong negeri itu bersikap fleksibel menurut perspektif Barat sehingga mengarah kepada perundingan serius. Tapi yang kedua ini kelihatannya jauh dari kenyataan sebab penyelesaian isu nuklir Iran lebih didasari perinsip “tongkat” alias ancaman bukan “wortel” atau “roti” alias iming-iming.
Sedangkan skenario ketiga adalah persetujuan tingkat minimal antara Iran dan Barat dalam kerangka paket insentif yang ditawarkan Uni Eropa terutama yang berkaitan dengan pengakuan Barat terhadap peran regional Iran sehingga terdapat penawaran baru diluar masalah nuklir berbentuk “wortel” yang menarik bagi Teheran.
Skenario ketiga ini mencoba mengaitkan antara isu nuklir dan isu-isu lainnya yang masih dipertentangan Barat dan Iran . Dengan demikian terdapat pengakuan bahwa isu nuklir tidak bisa dipisahkan dengan isu-isu lainnya termasuk peran Iran dalam penyelesaian konflik Timur Tengah.
Skenario keempat adalah skenario bencana besar yaitu serangan militer yang dilakukan oleh Israel pada bulan Nopember mendatang saat pemilihan Presiden di AS atau pada bulan Januari 2009 saat alih kekuasaan dari Bush kepada penggantinya. Bila Barack Obama terpilih, hasrat Tel Aviv untuk menyerang Iran makin kuat karena sikap Obama yang dinilai lunak terhadap Iran .
Meskipun tidak mendapat dukungan Washington mengingat pertimbangan yang telah disebutkan pada skenario pertama sebelumnya, namun Israel bisa melakukan sendiri sebab harus mengejar waktu sebelum Teheran benar-benar mampu membuat bom atom.
Mantan pimpinan intelijen luar negeri Israel , Shabtai Shavit kepada mingguan Inggris, Sunday Telegraph Minggu (29/6) menegaskan bahwa serangan dilakukan tanpa harus persetujuan Washington . Alasannya, jika John McCain terpilih dia sulit memutuskan dukungan dan bila Obama terpilih bakal tidak menyetujuinya minimal pada periode pertama jabatannya sementara Iran diprediksikan dalam waktu setahun atau setahun setengah sudah mampu membuat bom nuklir.
Bagi pejabat-pejabat tinggi Israel yang mendukung skenario keempat ini, kekacauan umum yang ditimbulkan serangan militer, dampak dari balasan Iran dan biaya sangat mahal yang disebabkan konflik militer baru setelah bencana di Iraq, tidak seberapa dibandingkan harga yang harus dibayar bila Iran akhirnya benar-benar mampu memproduksi bom atom.
Sebatas teknologi
Yang sedang berjalan di lapangan adalah skenario pertama yang memang sengaja dipilih Iran yaitu taktik mengulur waktu hingga pengayaan uranium mencapai tingkat kemampuan membuat senjata atom tercapai, walaupun tidak bertujuan memproduksi langsung senjata nuklir.
Dengan kata lain, Iran , melalui taktik ulur waktu mencoba mencontoh model Jepang. Negeri matahari terbit itu yang menjadi satu-satunya negara korban senjata atom telah berhasil menguasai teknologi pembuatan senjata nuklir namun masih enggan memproduksinya.
Skenario ini akhirnya bisa mengarah kepada "win-win solution" yakni tidak ada pihak yang merasa kalah. Iran akhirnya menghentikan pengayaan uranium setelah tujuan pengusaan teknologi nuklir tercapai, dan sebagai imbalannya Iran diberikan peran besar di lingkup regional termasuk dalam penyelesaian masalah Timur Tengah.
Iran sejauh ini masih mampu meyakinkan dunia bahwa tidak ada niat membuat bom karena target utama memang menguasai teknologi nuklir. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memperkuat hal itu sehingga masyarakat dunia tetap menolak penyelesaian militer dengan dalih tidak ada isyarat Teheran akan memproduksi senjata pemusnah massal tersebut.
Negeri berpendukuk mayoritas Muslim Syiah Imamiyah itu dalam dua tahun belakangan ini juga cukup lihai memperlebar kesenjangan sikap antara musuh-musuhnya (AS-Eropa) sehingga antara AS dan Eropa terdapat perbedaan sudut pandang yang masih lebar tentang cara menangani kasus nuklir Iran .
Teheran juga sudah siaga sejak dini menghadapi kemungkinan terburuk dengan menonjolkan kartu "As" (unsur kekuatan) yang dimilikinya sehingga dunia berpikir dua kali untuk mendukung opsi militer.
Diantara kartu “As” yang dipegang Iran adalah Selat Harmouz yang menjadi jalan keluar minyak Teluk ke manca negara. Iran siap menjadikan selat startegis itu sebagai lautan api bila diserang, sama yang dilakukan Mesir di zaman Presiden Anwar Sadat saat menutup Terusan Suez setelah perang Arab-Israel.
Teheran juga siap menggunakan senjata minyak yang bisa menggoncangkan perekonomian dunia apalagi dalam situasi harga minyak yang tak terkontrol saat ini. Tidak seperti yang dialami sebagian negara Teluk lainnya yang justeru minyak menjadi unsur pelemah karena khawatir akan masa depan bila menggunakan senjata minyak.
Dengan beberapa kartu “As” yang sudah ditangan itu membuat pejabat-pejabat tinggi Iran termasuk Presiden Ahmadi Nejad dengan tenang menghadapi ancaman Israel yang dinilai sekedar perang urat syaraf. Ibarat anjing yang menggonggong biasanya tidak menggigit.
Pengalaman sebelumnya memang membuktikan, bahwa serangan atas reaktor nuklir Iraq pada Juni 1981 dan reaktor Suriah belum lama ini tidak pernah didahului oleh ancaman Israel. Kenyataan ini memantapkan pendapat sebagian petinggi Iran bahwa "anjing menggonggong tidak akan menggigit" , seandainya menggigit sudah disiapkan balasan yang “mengerikan”.
Manfaatkan kesalahan strategis
Peluang lainnya yang bisa dimanfaatkan Iran untuk melancarkan skenario pertama dimaksud adalah kemampuan negeri ini memanfaatkan kesalahan strategis musuh bebuyutannya saat menghadapi musuh-musuh Iran yang tidak asasi seperti Iraq dan Afganistan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran berperan besar dalam pendudukan AS atas Irak dan Afganistan. Rezim Saddam dan Thaliban merupakan musuh sampingan Iran dan ``berkoalisi`` dengan musuh bebuyutan untuk menjatuhkan musuh-musuh sampingan tersebut dengan harapan musuh bebuyutan terperangkap dalam rawa-rawa Irak dan Afganistan.
Target Teheran akhirnya terbukti, AS salah strategi di Iraq dan Afganistan karena terlibat dalam perang yang menguras tenaga dan biaya. Pasukan negeri Paman Sam itu seperti tidak berdaya lagi untuk harus berperang lagi melawan Iran .
Pasukan AS di Iraq dan Afganistan menjadi target balas dendam yang mudah bagi Iran bila instalasi nuklirnya dihantam. Karena itu, banyak analis yang berkeyakinan bahwa serangan militer opsi yang masih sulit diterapkan dalam jangka waktu setahun belakangan ini.
Bila diterapkan setelahnya, Iran dipastikan sudah mengubah sikap yaitu menyetujui insentif Uni Eropa karena tujuan utamanya menguasai teknologi nuklir sudah tercapai dalam rentang waktu setahun itu.
Satu lagi yang perlu dicatat, bila target Iran itu kesampaian merupakan peluang juga bagi negara-negara Arab lainnya terutama Mesir dan negara-negara Teluk kaya minyak untuk melakukan langkah yang sama tanpa khawatir penolakan Israel sebagai musuh bersama.
Dengan alasan “ancaman” dari Iran , Barat sulit menolak keinginan dunia Arab untuk menguasai teknologi yang sama. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan upaya penguasaan teknologi nuklir Iran justeru menguntungkan Arab untuk mencapai balance of fear dengan Israel yang menjadi musuh sejati.
Semestinya dunia Arab menutup telinga dari propaganda zionisme yang didukung AS selama ini yang mengecap Iran sebagai ancaman utama dunia Arab. Bila terpengaruh propaganda itu, justeru impian solidaritas Muslim yang didambakan umat Islam sedunia makin jauh dari kenyataan.
Sana’a – Yaman, 2 Juli 2008/www.hidayatullah.comPenulis pemerhati Timur Tengah, mantan wartawan ANTARA dan kini sedang bermukim di Sana’a, Yaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar