Sunday, December 09, 2007
Melbourne, Ahad Shubuh, 9 Desember 2007.
Pendar sinar mentari masih redup tertutup awan tipis. Seolah jemari surya enggan menyingkap tabir waktu di ujung fajar. Kelopak baru kehidupan mulai mekar menebar pesona di sebuah pagi di pucuk bulan Desember. Cicit burung masih terdengar satu dua di atas atap dan dahan pepohonan di sekitar masjid Westall seakan menyapa hangat kumpulan hamba yang sedang mengais ridlo-Nya. Pengajian bakda Shubuh terasa berbeda dibanding hari biasanya. Jamaah Shalat Tahajjud dan Shalat Shubuh nampak lebih semarak memakmurkan rumah Allah yang suci ini dibanding hari Ahad lainnya. Saat itu aku hitung sekitar 35 orang menghadiri kegiatan yang telah berlangsung sejak tahun 2004 ini. Alhamdulillah, gumamku. Atas pertolongan Allah pula, pengajian fajar ini terus saja berlangsung. Semoga hanya keikhlasan untuk mencari ridlo-Nya lah yang bisa mendorong kami memakmurkan perut dan jiwa masjid.
Di pagi itu, ada pemandangan lain yang menyita perhatianku. Mataku tertumbuk pada sosok kurus yang berkerudungkan sorban Arafat. Janggutnya panjang memutih dan air mukanya menampakkan kebahagiaan batin seorang Muslim. Aku taksir usianya sekitar 50 tahunan. Dia duduk bersilah di baris sebelah kiriku. Mukanya tertunduk dan nampak tekun mendengarkan uraian mengenai kematian yang diambil dari Kitab "Tanbîh al-Ghâfilîn" karya seorang ulama sufi abad ke 10 dari Samarkand, Abu Layts. Agar jamaah yang lain tahu siapa yang baru hadir dalam pertemuan itu, aku meminta Pak Ayman memperkenalkan “anggota baru” ini kepada para jama’ah. Pak Ayman memperkenalkan bahwa kawannya ini bernama Rijal, yang biasa disapa Dieke asal Bandung.
Selepas pengajian, aku mencoba mendekatinya dan bertanya tentang ihwalnya. Aku salami dia dan memperkenalkan diriku. Kemudian dia memperkenalkan dirinya dengan nama Dieke Rijal. Tapi saat itu dia sudah memiliki nama “Islamnya”, yakni Muhammad Rijali. Ada kebahagiaan ketika dia menceritakan siapa dirinya, terutama ketika dia tak henti-hentinya bersyukur atas kesembuhan yang dia peroleh. Dia bercerita tentang penyakit kanker limpa yang dideritanya selama hampir setengah tahun lamanya semenjak Januari 2007. Asal muasalnya, menurut dia, penyakitnya itu baru diketahui ketika dia melakukan olah raga sit-up. Ketika dia sedang melakukan gerakan sit-up, tiba-tiba dia merasakan kram pada perutnya yang luar biasa. Seorang kawannya, Indra, menduga bahwa hal itu terjadi karena Dieke kurang melakukan pemanasan sebelum bersit-up. Tak dinyana dan tak diduga, ketika Dieke pergi ke dokter, dokter mendiagnosa adanya kanker limpa yang berbahaya. Mendengar hal itu, Dieke hanya pasrah meski dia tak percaya dengan apa yang dia dengar itu.
Selang beberapa lama kemudian dia merasakan tubuhnya semakin lemas dan semakin kurus. Ada rasa sakit yang menusuk di dalam perutnya yang terus menerus menghujam. Dokter memutuskan agar Dieke harus menjalankan operasi penyembuhan kanker. Selama sakitnya, Dieke telah menjalani tiga kali operasi dan beberapa terapi kimia dan nuklir untuk penyembuhan kanker yang dideritanya. Ntah tak terhitung berapa banyak injeksi obat dan treatment kimiawi yang bertubi-tubi bersarang di tubuhnya ketika dia merasakan sakit yang luar biasa itu. Dalam bulan ke enam, dia merasakan bahwa badannya sudah tak kuat lagi menopang penyakit yang dideritanya. Dalam pikirannya sang malaikat maut seolah sudah teramat dekat hendak menjemput ruhnya ke alam baka. Lintas kepasrahan membawakan rasa rindu kepada tanah kelahirannya. Dia hanya berharap bahwa dia bisa menghembuskan nafas terakhirnya dan dikubur di tanah kelahirannya, Indonesia. Cinta tanah air bagi seorang perantau puluhan tahun semacam Dieke adalah bukti bahwa ikatan emosional seseorang dengan kampung halamannya adalah nyata.
Dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia meskipun dalam keadaan sakit dan harus ditopang kursi roda sekalipun. Dia sudah pasrah bahwa dalam benaknya kematian adalah yang terdekat dari segala sesuatu. Tiada jalan yang akan ditempuh dalam lorong hidup ini kecuali berakhir pada terminal hakiki, yakni maut. Dia berfikir bahwa kepulangannya ke Indonesia hanyalah untuk mengantarkan nyawa seorang pendosa. Di Jakarta dia bertemu sahabat lamanya, Bangun Sugito alias Gito Rollies, mantan penyanyi rok terkenal di Indonesia yang sudah bertobat. Gito menyarankan agar dia meminum jinten hitam dan madu. Gito bilang bahwa jinten hitam atau dalam bahasa Arabnya "khabbah sauda" adalah obat dari segala penyakit, apalagi kalau dicampur dengan madu. Dieke mengikuti saran Gito yang saat itu juga lagi menderita kanker getah bening. Mukjizat itupun terjadi. Hanya dalam waktu tiga minggu, Dieke merasa ada perobahan setelah meminum cairan khabbah sauda dan madu. Tubuhnya kembali normal dan dia bisa tegak berdiri dan berjalan. Padahal sebelumnya kaki dan tangan kanannya sempat lumpuh total. Hanya Allah saja yang tahu mengapa Dia memberikan kesembuhan atas penyakitnya itu. Dieke merasa bahwa Allah masih memberinya waktu untuk menebus semua dosa-dosanya yang terlah menggunung. Ketika dia merasa bahwa kondisi tubuhnya kian membaik, Dieke balik lagi ke Melbourne. Ketika berjumpa dengan dokter langgangannya, doktertersebut terheran-heran dengan kondisi kesehatannya yang maju pesat. Namun Dieke tak ingin bercerita tentang khabbah sauda dan madu sebagai media penyembuh penyakitnya. Dia khawatir kalau dokter di Melbourne tidak pernah akan mudah percaya terhadap terapi itu.
*****
Aku semakin ingin tahu tentang hal ikhwal dia. Di sela-sela pembicaraannya yang sarat nasihat hidup. Dia membuka kisah hidupnya yang berawal ketika dia baru berusia 21 tahun. Di saat usia belia itu, dia sudah memutuskan untuk berhijrah seorang diri ke Negeri Kanguru pada pertengahan tahun 1973. Kota yang dipilihnya adalah kota Melbourne. Dia menggunakan visa turis untuk datang ke Australia dari Jakarta. Kedatangan dia sebenarnya bukan untuk menjadi turis. Dia hanya ingin tinggal di Australia dan menikmati kebebasan sebagai anak muda yang mencari petualangan hidup dan pendefinisian jati diri. Merasa betah di Australia, Diekepun tinggal berlama-lama. Tak terasa visa turis pun habis masa berlakunya. Meskipun demikian, dia tak ingin pulang ke Indonesia, bahkan ingin menikmati status sebagai penghuni kharam. Akibatnya, selama beberapa tahun dia berkeliaran menjadi "buron" imigrasi di Melbourne. Sepandai pandai tikus bersembunyi, akhirnya bertemu gebuk dan perangkap. Pihak imigrasi Melbourne berhasil menangkapnya di awal tahun 1986. Ketika akan dideportasi, dia masih ingat kata-kata yang dia lontarkan kepada petugas imigrasi, “I will come back!”. Si petugas bilang, “Do it if you can!”.
Janji Dieke terbukti bahwa selang setahun berikutnya, dia datang lagi ke Melbourne dengan paspor baru sekaligus nama baru. Dieke pun melenggang masuk sebagai turis untuk kali kedua. Lagi-lagi dia ingin berlama-lama menikmati udara bebas di negeri kanguru tanpa peduli terhadap dokumen resmi perjalananya. Akibatnya, nasib sial terpaksa dia alami lagi untuk kali kedua sebagai konsekuensi menjadi pendatang kharam. Selang beberapa lama kemudian, Dieke pun tertangkap lagi oleh petugas imigrasi dan dideportasi ke Jakarta. Lagi-lagi Dieke berujar kepada petugas imigrasi yang sudah mengenalinya, “I will be back!!”. Si petugas dengan tak acuh menjawab, “Do it if you can!”.BERSAMBUNG...
Melbourne, 10 desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar