Minggu, 22 Juni 2008
Sebuah situs internet Iraqiscope, semacam Youtube berbahasa Iraq menunjukkan sisi lain Iraq pasca perang. Siapa saja boleh meng-upload dan membagi 'sepotong kehidupan Iraq'
Hidayatullah.com--
Ahmed meletakkan potongan ayam ke dalam panci dan menuangnya dengan jus buah delima. Saat isi panci mulai mendidih, ia memasukkan segelas pasta wijen.
Selama 20 tahun embargo, Ahmed terbiasa makan Fasanjoon, makanan khas di Najaf, kawasan selatan Bagdad. Di Iraqscope, Ahmed menunjukkan bagaimana cara membuatnya. Memasak juga menjadi menu di situs internet itu.
Seorang pembuat film yang hidup sebagai eksil di Suriah berdiskusi dengan temannya mengenai cara membuat Tabsi. Seorang pria muda memasak sambil berkomunikasi dengan ibunya lewat video di internet. Sang ibu di Iraq berbicara di depan webcam, memberi instruksi pada sang anak yang tak tak tahu tomatnya harus diapakan.
"Warga Iraq sangat bangga dengan dapurnya. Mereka yang tinggal di luar negeri khususnya, di Suriah atau Yordania, mengganggapnya sangat penting, mereka selalu bicara tentang betapa enaknya makanan Iraq. Tapi jarang ada buku resep makanan Iraq, jadi kami putuskan ya kita sediakan saja kategori memasak, dan kita lihat apa yang terjadi", kata Klaas Glenewinkel.
Ia dari organsiasi non pemerintah Media in Cooperation and Transition adalah salah satu penggagas Iraqiscope. Mereka membangun portal video itu dengan dukungan badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan UNESCO, dan Kementrian Luar Negeri Jerman.
Klaus Glenewinkel mengatakan, "Dengan Iraqiscope kami ingin menunjukkan kenyataan di Iraq, yang selama ini tidak diketahui. Tentu saja orang tahu Iraq dari media massa, dari CNN, Al Jazeera, tapi orang tidak mengenal Iraq dari perspektif warga Iraq sendiri."
Dan memasak, termasuk dalam perspektif itu, sama dengan politik, stress, universitas atau saat jatuh cinta pertama kali.
Lima tahun setelah invasi AS dan runtuhnya rejim Saddam Hussein, internet mulai umum dikenal di Iraq. Tapi hampir tak orang yang punya akses internet di rumah. Merekam dengan video kamera secara terang-terangan di jalan, juga bisa mengundang bahaya. Belum lagi jalan menuju kafe internet. Harapan terakhir, semoga hubungan lewat satelit tak ada gangguan.
Meski begitu ada sekitar 200 film di Iraqiscope. Dikirim oleh pembuat film pemula yang mempromosikan karya-karya mereka, juga banyak orang awam yang dengan telepon genggam merekam teman atau keluarga.
Klaus Glenewinkel mengatakan, "Orang beruntung kalau aliran listrik tidak terputus, karena mungkin perlu waktu 3/4 jam untuk meng-upload sebuah film. Situasinya sangat sulit."
Film lain di Iraqiscope memperlihatkan pesta pernikahan, penjual sayur pojok jalan, remaja yang frustasi, anak muda yang memanfaatkan lapangan parkir yang tak terpakai lagi untuk tempat kumpul dan minum-minum. Mereka tak punya tempat lain.
Film-film di Iraqiscope menunjukkan sebuah masyarakat yang menderita di bawah rejim Saddam Hussein dan invasi Amerika serta masa depan yang tak pasti.
Dulu kami disensor, sekarang kami dibunuh, kata seorang penulis di salah satu film. Dia takut fotonya muncul di koran. Agar tak membahayakan para pembuat film, dan orang-orang yang tampil di film, Iraqiscope menyediakan kategori khusus yang melidungi identitas si pencerita.
Dengan mengenakan topeng kertas atau dibawah bayang-bayang, warga Iraq menuturkan kisah yang biasanya mereka tutup-tutupi. Tentang pemerintah, tentang penyiksaan seksual, dan tentang kurun waktu, 50,60 tahun silam, ketika negeri itu belum dicabik-cabik perang antar kelompok agama.
Perang antar kelompok agama dimulai saat Saddam dijatuhkan, kata pria berusia 73 tahun. Ia berharap, Iraq segera bersatu kembali.
Sementara ini, Iraqiscope bisa merayakan keberhasilan kecil. Seorang sutradara Iraq diundang ke festifal film Arab di Rotterdam, setelah filmnya ditemukan penyelenggara festival di situs internet Iraqiscope. [dwwd/http://hidayatullah.com/]
Kamis, 10 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
hmm, sekedar saran. mungkin akan terbaca dengan baik jika ditambahkan paragraf.
paragrafnya ooom. sulit bacanya
Posting Komentar