Kamis, 14 Agustus 2008

Perjalanan Seorang Salik (2)

Monday, December 10, 2007


Dieke yang berjiwa berandal, bandel dan pantang menyerah terus saja mencoba untuk kembali lagi ke tanah kebebasan, Australia. Dengan ide lamanya, dia pun tak kapok untuk membuat paspor baru dengan nama baru yang lain untuk mendapatkan visa turis. Anehnya, pada waktu itu, dia masih saja dihadiahi visa untuk datang ke Benua Kanguru ini. Pada kali ketiga ini dia juga datang sebagai turis. Untuk “menyelamatkan” nasibnya agar tidak lagi ditangkap oleh petugas imigrasi, dia menikahi seorang perempuan bule non-Muslim. Karena tidak ada pekerjaan yang dirasakan cocok dengan jiwanya, Dieke nekat bekerja menantang nyawa sebagai pengedar obat terlarang disamping pemain bas pada sebuah band “Happiness” yang dibentuknya bersama beberapa kawan sesama “druggist” lainnya. Yah, “happiness”, sebuah kata yang mewakili impian kaum “druggist” dan pemuja kebebasan di tanah rantau; kebebasan dan kebahagiaan semu yang hanya gemerlap bak embun pagi yang mudah menguap di kala mentari membiaskan hangatnya.
Untuk menjaga pasokan heroin dan obat kharam lainnya, dia terbiasa melakukan perjalanan ke berbagai kota tambang emas bagi kaum pemadat, semisal Nepal atau Bangkok. Dalam satu tahun dia terbiasa melakukan perjalanan dua atau tiga kali sesuai dengan prinsip “supply and demand” dalam dunia pasar. Selama hamper 30 tahun dia bergelut dengan dunia kelam itu. Dunia yang dipandangnya sebagai sensasi kebahagiaan. Tiada hari tanpa drug dan tiada hari tanpa jual menjual barang laknat itu. Pekerjaan kharam ini dia jalani dengan sepenuh hati dan dedikasi. Dia mengakui bahwa dia tak berfikir tentang dosa dan Tuhan. Yang ada dalam pikirannya adalah mendapatkan duit banyak dan atmosphere berfoya-foya tanpa lelah.
Dia masih ingat di tahun 1996, kali pertama dia berinisiatif membuat grup musik “Happiness”. Dia yang memiliki talenta musik merekrut beberapa kawan “seperjuangannya” untuk mengikuti lomba band di Melbourne. Kebetulan saat itu grup “happiness” menjadi juara. Kemenangan grup musiknya merupakan babak baru dalam sejarah kehidupan Dieke untuk melebarkan sayap sebagai pengedar obat terlarang sekaligus terjun lebih dalam lagi dalam lembah dosa. Bermodal kemenangan itu, ia datangi sebuah night club di pojokan kota Melbourne. Kepada si pemilik bar, dia sesumbar bahwa andaikata grup bandnya diperbolehkan manggung di dalam bar tersebut, maka dia bisa menjamin untuk menarik banyak pelanggan. Dieke yakin bahwa dia punya banyak kawan yang bisa diundang untuk sekedar “silaturahim” di dalam bar tersebut. Dia bangga memiliki pasukan jahiliyah yang siap berpesta miras dan obat terlarang. Si pemilik bar setuju dan mengizinkan grup band Happiness manggung semalam suntuk hingga jam 5 pagi. Ternyata sesumbar Dieke terbukti, pada hari pertama, jumlah pengunjung bar sekitar 30 orang, dan pada hari ketiga, dia melihat pengunjung bar lebih dari 150 orang. Sengaja dia pasang seorang perempuan seksi sebagai penjaga pintu bar. Di situlah Dieke membangun jaringan peredaran obat terlarang melalui para pelanggan bar. Tidak hanya itu, dia minta kompensasi 10% dari keuntungan bar di saat dia dan grup bandnya manggung. Hari spesial dia untuk unjuk kebolehan membetot dawai gitar basnya adalah Jum’at malam dan Sabtu malam. Itulah lapangan nafkah seorang Dieke yang mempertaruhkan nasib di negeri kebebasan. Bermodalkan surat dokter sebagai pecandu narkoba, Dieke beruntung mendapatkan santunan hidup dari pemerintah Victoria. Seingat dia, dia tak memiliki pekerjaan legal apapun selain musik, madat, madon, dan maling.
*****
Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika teringat masa jahiliyah dalam kehidupannya. “Andai saja aku mati pada saat itu ya Allah…”, katanya lirih sambil pandangannya menerawang menatap langit. Semburat penyesalan memang memancar jelas dari sinar wajahnya. Kemudian dia bercerita tentang awal mulanya dia bertobat dan meninggalkan dunia kelamnya itu. Suatu hari di pertengahan tahun 2000, Dieke bermaksud menengok keluarganya di Indonesia. Di tanah airnya dia menyempatkan bertandang ke rumah sahabat dekatnya, Indra, yang saat itu mengelola sebuah penginapan di tempat wisata Bukit Lawang di lembah gunung Leuser, Medan. Indra adalah kawan berbagi kemabukan dan dunia drug di Melbourne. Namun betapa kagetnya ketika dia mengunjungi kawannya itu. Indra sudah berubah. Indra sudah meninggalkan dunia gelapnya. Sekarang sahabatnya itu telah memeluk Islam yang kaaffah dan mencoba kembali ke jalan-Nya sambil mengelola sebuah cottage di tempat wisata tersebut. Tak zeperti biasanya, Dieke tak menemui botol-botol minuman kharam di penginapan itu. Sungguh berbanding terbalik dibanding sosok Indra beberapa tahun yang lampau pikirnya. Kebetulan saat itu, Indra sedang kedatangan beberapa tamu, serombongan jamaah tabligh yang menginap di penginapannya. Saat dia berkunjung ke penginapan itu, Dieke masih bergaya bak Bob Marley (1945-1981), seorang pemusik asal Jamaica. Dieke terbiasa memakai tiga anting di telinga kirinya dan berambut panjang sepinggul. Preman choi!!!
Tak disangka, salah seorang anggota jamaah tabligh itu mendekati dirinya. “Apakah Anda tidak ingin kembali ke jalan Allah?”. Dieke terkejut, “Maksud Anda apa?”. Orang berjubah dan berjanggut itu melanjutkan, “ucapkanlah la ilaha illal lah, maka dosa Anda terampuni dan Anda akan masuk surga Allah SWT.”. Dieke terdiam dan mendengarkan lagi kata-kata orang tadi. Dieke tak tahu mengapa dia bisa membiarkan orang asing ini menasihati dirinya. “Andai Anda mau, ikutilah kami untuk berkeliling ke Aceh melihat saudara-saudara Muslim kita. Insya Allah hati Anda akan tenang, Kalau mau besok kita pergi dari Medan menuju Aceh.” Orang itu terus berbicara. Dieke merasa ada tantangan yang harus dilakukan, “OK, saya ingin tahu saja. Saya ikut Anda dan rombongan besok ke Aceh.” Dieke pun heran mengapa dia mau saja diajak berkeliling ke Aceh? Selama perjalanan, Dieke ditemani Indra. Sejak saat itulah Dieke mulai belajar Islam sedikit demi sedikit dan mendengarkan “tasykil” (ceramah) para maulana. Dia ikuti perjalanan dakwah dari mulia tiga hari hingga 40 hari. Dia bercerita bahwa dia pernah mengunjungi ijtima’ (perkumpulan) besar anggota jama’ah tabligh di Nizamuddin, New Delhi hingga dua kali.
Dieke merasa bersyukur bahwa ia telah mendapatkan nur Allah kembali. Dia bercita-cita hendaknya umat Islam bisa bersatu menancapkan kalimat Allah yang maha mulia. Dia berpesan agar dalam percakapan janganlah orang berbicara tentang khilafiah (perbedaan mazhab), politik, dan dunia. Berbicaralah tentang keagungan Allah dan keimanan melalui jalan hikmah. Membawa seseorang menuju manisnya iman, baginya, tak harus melalui jalan debat dan pemaksaan. Ia yakin bahwa mengajak orang sholat dengan dua kata, “Shalat yuk” adalah hikmah tanpa harus melukai perasaan orang yang diajak. Pandangan Dieke ini merupakan buah dari perjalanan spiritualnya. Selama bergaul dengan jama’ah tabligh, Dieke merasa bahwa mereka sangat memanusiakannya. Dia tak pernah dihina dan dikucilkan meski kali pertama dia bergabung dengan mereka, dia masih berpenampilan preman yang masih nol pemahaman ibadah dan keislamannya. Ada lagi yang membuatnya yakin bahwa do'a ibu lah yang membuatnya dia bisa menerima Islam kembali. Dia berpendapat, andaikata sang bunda tak pernah mendo'akan dia dalam setiap shalatnya, maka dia mungkin tak akan lagi mendengar alun panggilan Allah. Semoga saja kita bisa mereguk manisnya iman dan takwa hingga nafas terakhir lepas dari badan kita. Aamiin.TAMAT

Tidak ada komentar: